Perbedaan Politik, Kelesuan Ukhuwah - MUHAMMAD ASDAR AX09

MUHAMMAD ASDAR AX09

Stay to focus And complete the journey

Video Perpustakaan Dan Masyarakat

Rabu, 31 Juli 2024

Perbedaan Politik, Kelesuan Ukhuwah

    

Tulisan ini saya mulai dengan kutipan yang di sampaikan oleh seorang Syaikh Tarbiyah yaitu Ust. KH. Rahmat Abdullah :

"Setiap manusia akan binasa, kecuali orang-orang yang berislam.

Setiap orang berislam akan binasa, kecuali orang-orang yang beriman.

Setiap orang yang beriman akan binasa, kecuali orang-orang yang berilmu.

Setiap orang yang berilmu akan binasa, kecuali orang-orang yang beramal.

Setiap orang yang beramal pun akan binasa, kecuali orang-orang yang ikhlas."

(K.H. Rahmat Abdullah)

    Ada banyak fenomena yang telah kita lihat sekarang, dimana seorang muslim dengan muslim lainnya seakan-akan musuh untuk dirinya sendiri. Padahal jika kita mengingat pada zaman Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam, rasa persaudaran itu begitu harmonis, tidak ada rasa saling membenci, saling menghakimi bahkan mereka saling menghormati satu sama lain. Namun sekarang, rasa ukhuwah tersebut sudah mulai terkikis. Muslim yang satu dengan yang lain sudah tidak dianggap saudara. Beda mazhab sedikit di musuhi. Beda Manhaj sedikit di cemooh dengan kata-kata "wajar sih, kan dia manhajnya itu", "pantasan cara shalatnya beda, ternyata dia mahzabnya itu toh". Hal-hal seperti inilah terkadang memecah rasa persaudaraan sesama muslim. Padahal sudah dijelaskan dengan lantang dalam Al-qur'an "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (Q.S Al-hujurat:10) 

    Adalagi fenomena yang cukup menggilitik bagi saya, saya rasa ini hanya pandangan pribadi (jangan dimasukan di hati ya). Kita tau bahwa Indonesia ini mayoritas masyarakatnya beragama islam dan juga merupakan negara demokrasi, dimana pemimpin negara di tentukan dalam PEMILU yaitu proses pemungutan suara setiap 5 tahun sekali. Entah setiap ingin digelarnya Pemilu ini banyak sekali orang-orang yang tiba-tiba muncul dengan tampilan agamis banget. Memberikan ceramah dan nasihat untuk memilih pemimpin yang amanah, jujur dan beragama islam (setau saya ustadz yang benar tidak akan ikut berkampanye untuk mendukung salahsatu PASLON). Tentu hal itu tidak mudah di cerna bagi masyarakat awam. Para ustadz-ustadz musiman ini seakan-akan dipesan untuk menyebarluaskan isu untuk memilih salahsatu paslon. Misalnya saja PEMILU bulan februari kemarin, banyak kan diantara pemilih umat muslim yang tidak terpengaruh dengan ceramah-ceramah? bahkan kita tau mereka ini muslim, tapi mereka tidak paham pemimpin muslim seperti apa yang baik. 

    Bahkan mereka dipecah belah dengan sebuah berita-berita yang memojokkan muslim itu seperti apa. Hal seperti ini yang bahkan sampai sekarang tidak akan membuat umat muslim bersatu. Sangat gampang sekali untuk memecah rasa persaudaraan umat muslim. Mereka mudah terpengaruh dengan berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Itulah mengapa Yahudi paham bagaimana cara menghancurkan generasi umat muslim. Sedangkan kita tidak pernah sadar dan tidak mau untuk maju lagi. POLITIK saja bisa memecah belah kita, belum lagi aspek-aspek lainnya. DASAR LEMAH (maaf saya sedikit emosi). 

    Ada sebuah kejadian lucu, ini kebetulan saya alami sendiri ketika saya sedang berdiskusi dengan salah seorang teman kampus. Saya memulai pembahasan dengan "apa yang perlu di lakukan pemerintah sekarang agar Indonesia kedepannya lebih maju?". Teman saya ini jawab "menurut saya, Indonesia bisa maju kalau pemerintahnya tidak korupsi, tidak main orang dalam. Dan kalo bisa setiap sekolah gurunya harus di fasilitasi dengan baik serta tunjangan yang sesuai". Terus saya coba berikan lagi pertanyaan menjebak "Tapi kok sekarang yang menang pemilu tidak mencerminkan apa yang kamu bilang tadi?". Diapun sontak ngomong "kamu kan juga tau bro, kita sekarang masyarakatnya masih butuh uang dan makan. Makanya pendidikan itu di nomor 2 kan". Saya dan teman akhirnya tertawa akan hal ini. wkwkwk...

    Apa yang bisa saya tangkap dari diskusi tersebut, yaps masyarakat kita memang butuh uang dan makan. Namun mereka hanya lupa mengembangkan mindsetnya (mungkin sebagian saja yg mau maju). Tolak ukur memilih calon pun pastinya selain hati nurani dan juga support materi. Begitulah kita sekarang, perbedaan mahzab, perbedaan manhaj dan perbedaan politik membuat kita terpecah belah, saling memusuhi, membenci, memaki dan bahkan saling membunuh. 

    Jangan terlalu berlarut-larut dalam masalah. Masih banyak agenda kebaikan yang harus kita lakukan bersama. Untuk apa juga saling sindir-menyindir mahzab, manhaj dan pilihan politik. Saya pribadi tidak pernah membawa permasalahan seperti ini berlarut-larut, karena saya paham mau sampai kapan kita seperti ini? Umat islam tidak akan pernah maju jika kita terus mempermasalahkan hal-hal sepele. Hargailah perbedaan dan mari bersatu. Ukhuwah kita lebih penting dariapapun.


    Mungkin saja ada situasi di mana orang yang dulunya saling mencintai justru berakhir saling membenci, sementara mereka yang sebelumnya bermusuhan menjadi akrab dan saling menyayangi. Pesan mendalam dari Nabi Shallalahu'alaihi Wasallam adalah: "Cintailah saudaramu dengan porsi yang wajar, karena mungkin suatu saat ia akan menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah seseorang yang kau benci dengan cara yang wajar, sebab mungkin suatu saat ia akan menjadi orang yang kau cintai." (HR. Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini berlaku dalam hubungan interpersonal. Dalam konteks komunitas, tidak boleh ada kecuali pengecualian syar’i yang mengajarkan bahwa "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta" (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Hakim).

    Doktrin ukhuwah yang jelas memberikan pengertian sebagai pengikat dalam kondisi apapun, baik saat bahagia maupun kesulitan, serta ketika rela maupun marah. Bingkai ini adalah: "Tingkat terendah ukhuwah (lower) tidak boleh jatuh di bawah garis lapang hati (rahbatus’ shadr) dan batas tertinggi (upper) tidak boleh melebihi batas itsar (memprioritaskan saudara di atas kepentingan diri)."

      Pesan mulia mengenai ukhuwah yang tidak asing bagi setiap ikhwah adalah: “Jika ia tidak bersama mereka, ia tidak akan bersama selain mereka. Dan jika mereka tidak bersamanya, mereka akan bersama selain dia.” Ini semua hanya bisa tercapai jika hati saling terikat dalam ikatan aqidah, yaitu ikatan yang paling kokoh dan berharga. Ukhuwah adalah saudara iman, sedangkan perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta’lim, rukun Ukhuwah).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

    Ketika persaudaraan di jalan Allah menjadi kepentingan dakwah-Nya, "kerugian apapun" yang dialami oleh saudara-saudara dalam iman dan dakwah akibat kelesuan, permusuhan, atau pengkhianatan oleh mereka yang tidak tahan beramal secara kolektif, akan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. 

"Dan jika kamu berpaling, maka Allah akan menggantikan dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu" (QS. 47:38).

    Setiap dari kita memiliki pengalaman pribadi dalam dakwah ini. Ada yang selama dua dekade terakhir tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang bertabrakan dengan jadwal dakwah atau oleh urusan yang merugikan dakwah. Kenapa? Karena sejak awal, orang tersebut telah teguh dalam mengutamakan kepentingan dakwah dan menyingkirkan kepentingan lainnya. Ini sangat berbeda dari sikap nekad yang membuat seseorang melarikan diri dari tanggung jawab keluarga.

    Seorang ikhwan yang kini sudah menjadi masyaikh menceritakan pengalamannya. Saat menikah, dia langsung berpisah dari kedua orang tua untuk belajar hidup mandiri atau mencari suasana kondusif untuk menjaga iman menurut persepsinya saat itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Ketika saya harus pergi berdakwah, wajah pengantin saya yang tercinta mendung," ujarnya. Ia tidak meninggalkan istri yang menangis sedih dan bingung, seolah doktrin dakwahnya mulai pudar. Saat itu jarang ada dai dan murabbi yang pulang malam, apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi. Perasaan perang batin pun muncul, seperti Juraij sang abid yang bingung antara ibadah dan panggilan ibunya. Sekarang, pertanyaannya adalah: "Isteriku atau dakwahku?"

    Dia mulai merasa gelisah jika pergi, istri cemberut, padahal ia tahu risikonya tidak bisa pulang malam. Dia berkata pada istrinya: "Kita dipertemukan oleh Allah dan menemukan cinta dalam dakwah. Apa pantas jika setelah dakwah mempertemukan kita, kita meninggalkan dakwah? Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku, tetapi kita juga mencintai Allah." Dia melewati berbagai hambatan dan pulang masih melihat wajah istri yang mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian, setelah memiliki tiga atau empat anak, saat kelesuan melanda, justru istri dan anak-anaknya yang mengingatkan untuk terus berdakwah. Kini, keluarga dakwah tersebut menikmati berkah dakwah.

    Berbeda dengan kisah pasangan suami istri dari masyarakat dakwah lainnya. Mereka menghadapi situasi serupa dengan penyikapan berbeda. Pengantin tidak siap ditinggal untuk dakwah. Ketika malam itu ia absen dari pertemuan kader (liqa’), dilakukan muhasabah hingga ia menangis. Ia merasa kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna" (QS. 48:11). Ia berjanji untuk hadir dalam tugas dakwah, meskipun hujan atau badai. Namun, saat giliran berangkat, mertua datang, dan ia pun absen lagi. Saat tugas dakwah berikutnya, hujan, badai, atau kedatangan mertua kembali menjadi alasan. Sampai sekarang, individu tersebut masih belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Ia tidak pernah merasakan kelezatan duduk dalam forum dakwah yang penuh berkah. Sungguh, pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah yang jernih hatinya adalah pengalaman yang tak tergantikan. Apakah mereka menemukan sesuatu yang lebih berharga, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim"?

Di Titik Lemah Ujian Datang

    Akhirnya, dari berbagai kisah ini, saya menemukan jawabannya dalam ayat QS. Al-A’raf Ayat 163: "Tanyakanlah kepada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas pada hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah pada hari Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tidak datang. Demikianlah Kami uji mereka karena kefasikan mereka." Ayat ini secara langsung berhubungan dengan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar, tetapi juga menambah wawasan tentang ujian.

    Waktu ujian tidak pernah lebih lama dari waktu belajar. Namun banyak orang tidak sabar menghadapi ujian, seolah ujian berlangsung lebih lama dibandingkan waktu belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, dan keteguhan dalam berdakwah lebih singkat dibandingkan berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Sekolah yang waktu ujian lebih lama dari waktu belajarnya dianggap tidak wajar. Kelezatan dan kepuasan dari melewati ujian jauh lebih berharga daripada kenikmatan hidup sehari-hari.

    Seorang masyaikh dakwah setelah menyelesaikan pendidikan di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai berdakwah. Rekannya menolak dengan alasan ingin kaya terlebih dahulu, karena menurutnya, orang kaya lebih didengar suaranya. Beberapa tahun kemudian, mereka bertemu, dan Syaikh tersebut berkata, "Ternyata kekayaan itu tidak berarti apa-apa."

    Kita menemukan kuncinya: "Demikianlah Kami uji mereka karena kefasikan mereka". Allah menguji kita mulai dari titik yang paling lemah. Mereka malas ketika hari Sabtu, ikan datang melimpah, atau saat pelanggan datang tepat pada waktu dakwah. Tetapi jika mereka bisa melewatinya dengan tekad yang kuat, mereka akan seperti kapal pemecah es yang mampu menerobos salju. Ujian dan cobaan seperti anak kecil yang belajar puasa. Kenikmatan dari berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari sangat berharga.

Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah

    Aqidah kita mengajarkan bahwa tidak ada yang terjadi di langit dan bumi tanpa kehendak Allah. Allah berkuasa menahan tamu-tamu yang menghalangi kewajiban dakwah. Apa yang mereka pikirkan tentang keyakinan mereka jika mereka tidak percaya bahwa Allah menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas dakwah tidak berpikir tentang perasaan istri yang keberatan ditinggal? Ini sebenarnya adalah batu ujian yang dikirim Allah untuk menguji apakah mereka akan mengutamakan dakwah atau keluarga yang sudah memiliki alokasi waktu.

    Oleh karena itu, mari kita lihat titik lemah kita. Bagi yang lemah dalam ukhuwah, atau cepat merasa gerah dan ingin meninggalkan kewajiban liqa’, syuro, atau jaulah, jika mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya sesaat, setelah itu tinggal kenikmatan luar biasa yang tidak tergantikan. Bahkan orang-orang salih di masa lalu mengatakan bahwa jika para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, mereka akan merampasnya dan memerangi kita. Namun, kelezatan ini hanya bisa diikuti, dihayati, dan diperjuangkan. Berda’wah dan ukhuwah adalah nikmat yang tidak tergantikan oleh kemilau dunia.

    Ayat ini mengajarkan kita bahwa ujian datang di titik lemah. Jika seseorang lemah dalam bidang tertentu, seperti seks atau keuangan, ia akan diuji di bidang tersebut. Yang lemah dalam gengsi, popularitas, atau riya’ mungkin akan diuji dengan kurangnya penghormatan. Yang lidahnya tajam mungkin akan diuji dengan komentar tanpa tabayun. Yang lemah dalam kejujuran mungkin akan terjebak dalam dusta. Ini adalah bagian dari pembesaran bencana.

    Jika Abdullah bin Ubay bin Salul menerima Islam dengan sepenuh hati dan realistis bahwa ia tidak setara dengan Rasulullah SAW, mungkin nasibnya tidak akan semalang itu. Tokoh-tokoh Madinah yang meletakkan diri di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW semakin tinggi dan terhormat di dunia dan akhirat. Banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta, tetapi juga dengan ilmu, waktu, gagasan, dan kesehatan, yang semuanya akan menjadi beban tanggung jawab dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

    Kita perlu berhati-hati, setelah bersyukur, karena kita hidup dalam masyarakat dakwah dengan tingkat husnudzan yang tinggi. Orang yang cerdas tidak akan membodohi diri sendiri dengan percaya pada sangkaan baik orang lain jika ia tahu betapa jauh dirinya dari kebaikan itu. Abu Bakar RA merasa gelisah jika dipuji, dan berdoa: "Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum aku karena ucapan mereka, dan ampunilah aku karena ketidaktahuan mereka." Dimana posisi kita dibandingkan dengan kebajikan Abu Bakar Shiddiq RA? Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai’lah memperingatkan kita untuk tidak percaya pada sanjungan orang, padahal kita tahu betapa jauh diri kita dari kebaikan tersebut.

    Allah memberikan sitr (penutup) pada aib kita, sehingga tidak terlihat orang lain. Namun, pelamun selalu mengkhayal tanpa mengubah diri. Mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas dakwah tumbuh sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".

Sebagai Penutup

    Allah memberikan karunia besar bagi mereka yang terlibat dalam amal jama’i, yang memberi arti bagi eksistensi kita. Kebersamaan ini melahirkan kebesaran bersama. Jangan mengecilkan arti partisipasi kita dalam amal jama’i tanpa mengklaim telah berjasa kepada Islam dan dakwah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakanlah: `Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam. Sebaliknya, hayatilah bahwa Allah telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu kepada iman, jika kamu memang jujur" (QS. 49:17).

    Allah telah menggiring kita kepada keimanan dan dakwah sebagai karunia besar. Mereka yang merasa telah berjasa dan menunggu musibah dan kegagalan untuk mengungkapkan: “Nah, rasain!” seharusnya membayangkan bagaimana jika mereka tidak bersama kafilah kebahagiaan ini.

    Saling mendoakan sesama ikhwah adalah ciri kemuliaan pribadi mereka, terutama doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta, tidak ada motivasi lain bagi saudara yang berdoa. Allah akan mengabulkan doa tersebut dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata: “Untukmu pun hak seperti itu,” seperti pesan Rasulullah SAW. 

Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai bukan hanya karena kekerabatan, tetapi karena iman dan cinta fi’llah. Ya Allah, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan cinta terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kami kepada cinta-Mu.

Oleh: KH. Rahmat Abdullah 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar