TAZKIYATUN NAFS (Menyucikan Jiwa) - MUHAMMAD ASDAR AX09

MUHAMMAD ASDAR AX09

Stay to focus And complete the journey

Video Perpustakaan Dan Masyarakat

Kamis, 04 Juni 2020

TAZKIYATUN NAFS (Menyucikan Jiwa)


TAZKIYATUN NAFS
Oleh : Muh Asdar



            Jika kita sering mendengar kata tazkiyatun nafs, apa yang pertama kali muncul di benak kalian? Tentang adab dan murid apakah kalian pernah mendenganya?. Ya, tazkiyatun nafs mengcakup semua itu. Bagaimana perilaku murid terhadap gurunya, mulai dari niat hingga sampai dengan menuntut ilmu dari sang guru.
            Untuk pembahasan selanjutnya, mari kita bahas mulai dari pengertian hingga sampai dengan hal-hal yang penting untuk kita simak.
            Para Rasul ‘alaihi shalatu wassalam dituntut mengingatkan kita kepada ayat-ayat Allah, mengajarkan hidayah-Nya dan mensucikan jiwa dengan ajaran-Nya. Ta’lim. Tadzkir dan tazkiyah termasuk misi terpenting para Rasul.
            "Wahai Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Baqarah: 129)
            Jelas bahwa tazkiyatun-nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang yang bertaqwa, dan menentukan keselamatan atau kecelakaan di sisi  Allah. Tazkiyah secara etimologis punya dua makna: Penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma' dan shifat sebagai akhlaqnya (takhallua). Pada akhirnya tazkiyah adalah tathahhur, tahaqquq-dan takhalluq. Kesemuanya ini memiliki berbagai sarana yang syaf'i, hakekat dan hasil-hasil )'ang syar'i pula. Dampak dan pengaruhnya akan nampak pada perilaku dalam berinteraksi dengan Allah dan makhluk, dan dalam mengendalikan anggota badan sesuai perintah Allah. Barangkali rincian masalah ini merupakan isi terpenting dari pembahasan ini. 
            Tazkiyah hati dan jiwa hanya bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan tertentu, apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai. Pada saat itulah terealisir dalam hati sejumlah makna yang menjadikan jiwa tersucikan dan memiliki sejumlah dampak dan hasil pada seluruh anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan lainnya. Hasil yang paling nyata dari jiwa yang tersucikan ialah adab dan mu'amalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada Allah berupa pelaksanaan hak-hak-Nya termasuk di dalamnya mengorbankan jiwa dalam rangka jihad di jalan-Nya. Sedangkah kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan taklif Ilahi. Jadi, tazkiyah memiliki berbagai sarana seperti shalat, infaq, puasa,        haji, dzikir, fikir, tiiawah al-Qur'an, renungan, muhasabah, dan dzikrul-tmut, apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai. 
            Di antara pengaruhnya ialah terealisirnya tauhid, ikhlas, shabar, syukur, cemas, harap, santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan terhindarkannya dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut seperti riya', 'ujub, ghurur, marah karena nafsu atau karena syetan. Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalikannya anggota badan sesuai peritah Allah dalam berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat dan manusia. 
            Hal yang terjadi bahwa tazkiyatul anfus mengalami kelemahan generasi demi generasi sehingga menuntut pembaruan yang berkesinambungan. Seperti halnya setiap hari lahir jiwa-jiwa baru di dalam ummat ini, demikian pula razkiyah seharusnya menyertai jiwa-jiwa tersebut. Barangkali kelemahan tazMyah di abad kita lebih banyak ketimbang pada abad-abad yang lalu sehingga  memerlukan pembicaraan khusus tentang tazkiyah. Hal inilah yang menjadi pendorong lahirnya jerih payah ini. Oleh sebab itu, pembicaraan terfokus pada sarana tazkiyah, bagaimana ditunaikan secara sempurna pada berbagai maqam hati, penyakit-penyakitnya dan akhlaqnya yang shalih. Juga pada adab berbagai hubungan. Semua itu terkait secara langsung dengan tazkiyatul anfus. 
            Kami memilih untuk mengambil intisari sebagian besar nilai-nilai ini dari kitab Ihya' 'Ulum ad-Din yang ditulis oleh hujjatul Islam Muhammad al-Ghazali karena beberapa sebab: 
(1)   Al-Ghazali menghadapi kelemahan kehidupan spiritual di zamannya sebagaimana yang kita hadapi sekarang. Penyakitnya sama sedangkan  al-Ghazali telah menjelaskan obatnya dengan baik. 
(2)   Berbagai masalah yang dibahasnya meliputi apa yang telah disebutkan  oleh para pendahulunya, sehingga kitabnya memuat hal yang tidak ada di dalam kitab lain. Kitab apa saja menyangkut masalah ini berhutang budi kepadanya. 
(3)   Di dalam Ihya'., tertuang intelektualitas dan analisis al-Ghazali. Ia adalah tumpuan harapan realisasi semua yang diyakini dan ditulisnya. Oleh sebab itu, pembicaraannya punya kekuatan dan tenaga di dalam jiwa, yang tidak ada bandingannya dalam pembicaraan para penulis lainnya. Setiap orang yang berinteraksi dengan Ihya' pasti merasakan hal ini. Tetapi Ihya' itu sendiri, sebagaimana kitab manusia yang lain, mengandung banyak kekurangan sehingga sebagian peneliti menolak sebagian isinya. Di samping  itu, pembahasannya terbagi atas beberapa bagian: Sebagian lebih dekat kepada fiqh, sebagian lagi lebih dekat kepada nasehat, analisa, ilmu syari'at, ilmu logika atau tazkiyatun-nafi yang kita inginkan. Oleh karena itu, kami berusaha keras untuk membuat semacam ringkasan Ihya'.
            Anda lihat bahwa zaman kita sekarang ini adalah zaman dimana kekhusyu'an sangat sedikit tetapi cinta dunia dan takut mati sangat mendominasi. Karena itu, seorang 'alim (guru atau syaikh) yang tidak berhasil menghilangkan penyakit-penyakit ini maka ia tidak banyak bisa melakukan tajdid. Seorang 'alim harus memiliki kemampuan seperti ini sehingga para murid bisa merasakannya.
            Seorang guru yang da'i harus menyelenggarakan berbagai majlis nasehat, majlis ilmu dan majlis tazkiyah. sehingga mungkin bisa menggabungkan antara yang satu dengan yang lain. Atau membuat majlis umum untuk nasehat dan majlis khusus untuk tazkiyah yang menyelenggarakan dzikir dan mudzakarah fardiyah atau jama 'iyah dengan membaca sesuatu yang paling cocok dalam hal ini. Sementara itu diadakan pula majlis-majlis yang lain untuk ilmu-ilmu yang rinci seperti tilawah, tajwid, as-Sunnah dan ilmu-ilmunya, tafsir, ilmu-ilmu al-Qur'an. fiqh. ushul fiqh dan lain sebagainya.
            Titik awal keberhasilan amal ini adalah adab yang mengatur guru dan murid. Selagi tidak ada adab yang mengikat murid dengan gurunya maka tidak akan bisa berlanjut dalam perjalanan. Selagi guru tidak melaksanakan adab ta'lim (mengajarkan ilmu) maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh sejauhmana ia melaksanakan adab-adab tersebut. Oleh karena itu, mengetahui adab guru dan murid termasuk hal yang sangat penting dalam perjalanan kepada Allah, bahkan untuk menegakkan agama dan dunia.
Gerakan da'wah yang paling berhasil dalam sejarah Islam adalah gerakan yang menekankan sejak awal pada:
(1)    Kepercayaan (tsiqah) kepada pimpinan dan pemimpin, kepercayaan yang menumbuhkan ketaatan hati.
(2)    Dzikir terus menerus dan ilmu yang menyeluruh, yang diperlukan dan yang sesuai.
(3)    Keakraban dengan lingkungan yang baik, menghadiri pertemuanpertemuannya dzikir, Ilmu dan lainnya dan memperkuat berbagai hubungan antar anggotanya.
(4)    Penumbuhan adab-adab hubungan yang baik antara dirinya dan manusia secara umum.
(5)    Pelaksanaan public service (khidmah 'aammah) dengan penuh semangat dan perhatian. Gerakan yang menghimpun nilai-nilai ini pada para pemula-nya adalah gerakan yang mampu hidup dan tumbuh. Oleh karena itu, para ulama aktivis harus menekankan nilai-nilai ini agar bisa diserap dan dihayati oleh para pemula sejak awal.
            Nuh alaihisalam menyeru kaumnya seraya berkata:  "Sembahlah Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku." (Nuh: 3)
            Setiap Rasul menyeru kaumnya kepada hal yang sama: "Dan Kami tidakmengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al-Anbiya': 25)
            Nabi Hud, Shalih, Syu'aib dan lainnya juga berseru: "Betaqwalah kalian kepada Allah dan ta'atlah kepadaku."
            Selama seorang murabbi tidak berhasil menumbuhkan ketaatan yang  penuh kesadaran dari seorang murid, membiasakannya melakukan ibadah, dan merealisasikan ketaqwaannya maka sesungguhnya ia belum berbuat sesuatu. Titik awal hal ini terletak pada ihtiram (penghormatan) dan tsiqah (kepercayaan) seorang murid kepada gurunya, dan kelayakan guru mendapatkan hal tersebut. Semua ini membuat kami harus memulai kajian ini dengan Adab Guru dan Murid dari kitab Ihya'. Marilah kita ikuti keterangan al-Ghazali secara langsung.]
            Dalam pembahasan ini kita akan membagi beberapa adab murid dan guru,silahkan baca dan simak.
A. Adab Murid
            Murid memiliki adab dan tugas (wazhifati) lahiriyah yang banyak, ada sepuluh bagian menurut beberapa pengarang:
1.      Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlaq dan keburukan sifat
2.      Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena ikatan-ikatan itu menyibukkan dan memalingkan.
3.      Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru.
4.      Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia, baik apa yang ditekuninya itu termasuk ilmu dunia ataupun ilmu akhirat.
5.      Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu.
6.      Tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus tetapi menjaga urutan dan dimulai dengan yang paling penting.
7.      Hendaklah tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang sebelumnya.
8.      Hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu yang paling mulia.
9.      Hendaklah tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan
10.  Hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat darpada yang jauh, dan yang penting daripada yang lainnya.
B. Adab Guru
1.      Belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak.
2.      Meneladani Rasulullah shallallahi’alaihi wassalam dengan tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun ucapan terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan tagarrub kepada-Nya.
3.      Tidak meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali.
4.      Mencegah murid dari akhlak tercela, dengan cara tidak langsung dan terang-terangan sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan dengan celaan.
5.      Guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya.
6.      Membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid.
7.      Murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas dan cocok dengannya, dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya.
8.      Hendaknya guru melaksanakan ilmunya; yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya.
HAKIKAT TAZKIYATUN NAFS
            Fitrah manusia bisa terkontaminasi oleh najis ma'nawi seperti kemusyrikan, Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis" (At-Taubah: 28), terkontaminasi lumpur hawa nafsu yang salah, "Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu" (Maryam: 59), atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang yang tidak cocok untuk manusia, "Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)" (Al-Furqan: 44).
            Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat kecenderungan untuk menentang rububiyah, seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh berbagai kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai hakikat sebagaimana mestinya. Karena itu, jika dikatakan tazkiyatun nafs maka yang dimaksudkan ialah pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang keliru, berbagai perangai kebinatangannya yang nista, penentangannya terhadap rububiyah, dan berbagai macam kegelapan. Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk melaksanakan misi seperti ini.
            Shalat adalah sarana terbesar dalam tazkiyatun-nafs, dan pada waktu yang sama merupakan bukti dan ukuran dalam tazkiyah. Ia adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna-makna 'ubudiyah, tauhid dan syukur. Ia adalah dzikir, gerakan berdiri, ruku', sujud dan duduk. Ia menegakkan ibadah dalam berbagai bentuk utama bagi kondisi fisik. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, di samping merupakan pengakuan terhadap rububiyah dan hak pengaturan. Penegakannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit 'ujub dan ghurur bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian. "Sesungguhnya shalat dapat mencegah kekejian dan kemungkaran." (al-'Ankabut: 29)
            Shalat akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, sunnah dan adab zhahir dan batin yang harus direalisasikan oleh orang yang shalat. Di antara adab zhahir ialah menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan, dan di antara adab batin ialah khusyu' dalam melaksanakannya. Khusyu' inilah yang menjadikan shalat memiliki peran yang lebih besar dalam tath-hir (penyucian), peran yang lebih besar dalam tahaqquq dan takhalluq (merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia). Tazkiyatun nafs berkisar seputar hal ini. Karena amalan-amalan shalat yang bersifat lahiriyah masih tetap dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup di lingkungan Islam, maka di sini kami akan membatasinya dengan menyebutkan adab-adab batin yang disebut dengan ilmul khusyu'.
            Sesungguhnya khusyu' merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati. Jika ilmu khusyu' telah sirna maka berarti hati telah rusak. Bila khusyu' tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit maka telah kehilangan kecenderungan kepada akhirat. Bila hati telah sampai kepada keadaan ini maka tidak ada lagi kebaikan bagi kaum Muslimin. Karena, cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.
            Hilangnya khusyu' merupakan tanda hilangnya kehidupan dan dinamika hati sehingga membuatnya tidak bisa menerima nasehat dan didominasi oleh hawa nafsu. Bayangkanlah bagaimana keadaannya setelah itu? Pada saat hawa nafsu mendominasi hati, dan nasehat atau peringatan tidak lagi bermanfaat baginya maka berbagai syahwat pun merajalela dan terjadilah perebutan kedudukan, kekuasaan, harta dan nafsu syahwat. Bila hal-hal ini mendominasi kehidupan maka tidak akan terwujud kebaikan dunia atau agama.
            Khusyu' adalah ilmu sebagaimana ditegaskan hadits Nabi saw. Ilmu ini tidak banyak yang mengetahuinya. Bila Anda telah menemukan orang yang khusyu' yang bisa mengantarkan Anda kepadanya maka berpegang teguhlah kepadanya karena sesungguhnya ia orang yang benar-benar berilmu; sebab itulah tanda ulama' akhirat:  "Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur alas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi. " Dan mereka menyungkur mas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.” (al-Isra': 107-109).
            Sesungguhnya ilmu khusyu' berkaitan dengan ilmu pensucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatannya. Masalah ini merupakan tema yang sangat luas sehingga para ulama' akhirat memulainya dengan mengajarkan dzikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sehingga hatinya hidup. Bila hatinya telah hidup berarti mereka telah membersihkannya dari berbagai sifat yang tercela dan menunjukkannya kepada sifat-sifat yang terpuji. Disinilah perlunya pembiasaan hati untuk khusyu' melalui kehadiran (hudhur) bersama Allah dan merenungkan berbagai nilai kehidupan. Kesemuanya ini di kalangan para ulama' akhirat memiliki cara yang disyari'atkan. Seluruh kajian buku ini pada akhirnya membantu merealisasikan khusyu' ini. Jika Anda dapat memadukannya dengan persahabatan bersama orang-orang shalih yang khusyu' maka hal ini akan sangat membantu Anda Mencapai khusyu'.
            Khusyu' Dalam shalat merupakan ukuran kekhusyu'an hati. Kekhusyu'an Anda Dalam shalat menjadi tanda kekhusyu'an hati Anda. Berikut ini kami pilihkan aspek ini dari kajian al-Ghazali tentang shalat. Semoga anda dapat merealisasikannya.
            Al-Ghazali Rahiinahullah berkata: "Marilah Kita mengkaji kaitan shalat dengan kekhusyu'an dan kehadiran hati, kemudian makna-makna batiniyah berikut batas-batas, sebab-sebab dan terapinya. Selanjutnya Marilah pula kita kaji rincian tentang hal yang harus ada dalam setiap rukun shalat agar layak menjadi bekal akhirat."
            Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Para ulama' sepakat bahwa seorang hamba tidak akan mendapatkan (nilai) shalatnya kecuali apa yang disadarinya."  Ia menuturkan pendapat ini sebagai kesepakatan para ulama'. Pendapat seperti ini dari kalangan fuqaha' yang wira'i dan para ulama' akhirat terlalu banyak untuk disebutkan. Sikap yang benar dalam masalah ini adalah kembali kepada dalil-dalil syari'at. Berbagai aisar mendukung persyaratan ini, hanya saja konteks fatwa dalam taklif yang zhahir harus diukur dengan ukuran ketidakmampuan makhluk. Tidak mungkin dipersyaratkan kepada manusia agar menghadirkan hati dalam semua shalat, sebab hal ini tidak bisa dilakukan oleh semua orang kecuali sedikit. Jika tidak memungkinkan mempersyaratkan isti'ab karena darurat maka tidak ada jalan lain. Sekalipun demikian, kita berharap agar keadaan orang yang lalai dalam semua shalatnya itu tidak seperti keadaan orang yang meninggalkan shalat sama sekali. Sebab, pada umumnya, ia melakukan amal secara lahiriah dan masih bisa menghadirkan hati sesaat.
            Bagaimana tidak, sedangkan orang yang shalat dalam keadaan hadats karena lupa maka shalatnya batal di sisi Allah sekalipun tetap mendapatkan pahala sesuai dengan amaliah dan udzurnya tersebut. Sekalipun demikian, tidak ada maksud untuk menentang fatwa para fuqaha' yang memfatwakan keshahihan shalat orang yang lalai, karena hal ini termasuk darurat fatwa sebagaimana telah kami ingatkan di muka. Siapa yang mengetahui rahasia shalat pasti mengetahui bahwa kelalaian bertentangan dengannya. Kesimpulannya, bahwa kehadiran hati adalah ruh shalat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Bila kurang dari batas minimal ini berarti kebinasaan. Semakin  bertambah kehadiran hati semakin bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup yang tidak punya daya gerak sehingga mirip dengan mayit. Demikian pula shalat orang yang lalai dalam seluruh pelaksanaan shalatnya kecuali pada waktu takbiratul ihram, seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali. Kita memohon pertolongan yang sebaik-baiknya dari Allah.
Makna-Makna Batin Yang Dengannya Tercapai "Kehidupan" Shalat
            Ketahuilah bahwa makna-makna ini memiliki banyak ungkapan tetapi seluruhnya terangkum dalam enam kalimat, yaitu: Kehadiran hati, tafahhum, ta'zhim, haibah, raja', dan haya'. Berikut ini kami sebutkan rinciannya beserta sebab-sebabnya kemudian terapi dalam mengupayakannya. Kehadiran hati yang kami maksudkan ialah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak boleh mencampuri dan mengajaknya berbicara, sehingga pengetahuan tentang perbuatan senantiasa menyertainya dan pikiran tidak berkeliaran kepada selainnya. Selagi pikiran tidak terpalingkan dari apa yang tengah ditekuninya sedangkan hatinya masih tetap mengingat apa yang tengah dihadapinya dan tidak ada kelalaian di dalamnya maka berarti telah tercapai kehadiran hati.
            Tetapi tafahhum (kefahaman) terhadap makna pembicaraan merupakan sesuatu di luar kehadiran hati. Bisa jadi hati hadir bersama lafazh atau bisa jadi juga tidak. Peliputan hati terhadap pengetahuan tentang makna lafazh itulah yang kami maksudkan dengan kefahaman. Berkenaan dengan maqam ini terjadi perbedaan di kalangan manusia, karena tidak semua orang sama dalam memahami al-Qur'an dan berbagai kalimat tasbih. Betapa banyak makna-makna yang sangat halus yang difahami oleh orang yang tengah menunaikan shalat, padahal tidak pernah terlintas dalam hatinya sebelum itu? Dari sinilah kemudian shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, karena ia memahamkan banyak hal yang pada gilirannya dapat mencegah perbuatan maksiat.
            Sedangkan ta'zhim (rasa hormat) juga merupakan perkara di luar kehadiran hati dan kefahaman; sebab bisa jadi seseorang berbicara kepada budaknya dengan hati yang penuh konsentrasi dan faham akan makna perkataannya tetapi ia tidak menaruh rasa hormat kepadanya. Dengan demikian, ta'zhim merupakan tambahan bagi kehadiran hati dan kefahaman.
            Sedangkan haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) merupakan tambahan bagi ta'zhim bahkan ia adalah ungkapan tentang rasa takut yang bersumber dari ta'zhim, karena orang yang tidak takut tidak bisa disebut ha'ib. Rasa takut dari kalajengking, atau dari keburukan perangai seseorang dan yang sejenisnya termasuk sebab-sebab yang rendah yang tidak disebut takut yang bersumber dari rasa hormat (mahabah), sedangkan takut dari penguasa yang dihormati disebut takut yang bersumber dari rasa hormat {mahabah). Haibah ialah rasa takut yang bersumber dari penghormatan dan pemuliaan.
            Sedangkan raja' (harap) tidak diragukan lagi merupakan tambahan. Betapa banyak orang yang menghormati seorang raja yang ditakuti tetapi tidak diharapkan balasannya. Sedangkan seorang hamba dengan shalatnya harus mengharapkan ganjaran Allah, sebagaimana ia takut hukuman Allah bila melakukan pelanggaran.
            Sedangkan haya' (rasa malu) merupakan tambahan bagi semua hal di atas, karena landasannya adalah perasaan selalu kurang sempurna dan selalu berbuat dosa.
Hal-hal yang Menyebabkan Timbulnya Keenam Makna Ini
            Ketahuilah bahwa faktor penyebab kehadiran hati adalah himmah (perhatian utama), karena sesungguhnya hatimu mengikuti perhatian utamamu, sehingga ia tidak akan 'hadir' kecuali berkaitan dengan hal-hal yang menjadi perhatian utamamu. Bila ada sesuatu yang menjadi perhatian utamamu maka hati pasti akan 'hadir' suka atau tidak suka; karena hati terbentuk dan terkondisikan dengan perhatian utama tersebut. Apabila hati tidak 'hadir' dalam shalat maka ia tidak akan pasif begitu saja tetapi pasti berkeliaran mengikuti urusan dunia yang menjadi perhatian utama Anda. Oleh karena itu, tidak ada kiat dan terapi untuk menghadirkan hati kecuali dengan memalingkan himmah (perhatian utama) kepada shalat. Sementara itu, himmah tidak akan terarahkan kepada shalat selagi belum jelas bahwa tujuan yang dicari tergantung kepadanya. Dan itulah keimanan dan pembenaran bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa shalat merupakan sarana kepadanya. Bila hal ini didukung oleh hakikat pengetahuan tentang betapa tidak berharganya dunia maka pasti akan melahirkan kehadiran hati dalam shalat. Dengan sebab seperti ini hatimu akan 'hadir' bila Anda berada di hadapan sebagian orang besar yang tidak berkuasa menimpakan bahaya dan memberi manfaat kepadamu. Bila hati tidak bisa 'hadir' pada waktu munajat kepada Maha Diraja yang di tangan-Nya segala kerajaan, kekuasaan, manfaat dan bahaya, maka janganlah Anda mengira bahwa hal tersebut memiliki sebab lain selain kelemahan iman. Karena itu, berjuanglah Anda untuk memperkuat keimanan dengan jalan tersebut.
            Sedangkan faktor penyebab timbulnya tafahhum (kefahaman), setelah kehadiran hati, ialah senantiasa berfikir dan mengarahkan pikiran untuk mengetahui makna. Terapinya terletak pada menghadirkan hati disertai konsentrasi berfikir dan kesiagaan untuk menolak berbagai lintasan pikiran (yang liar). Sedangkan terapi menolak berbagai lintasan pikiran yang menyibukkan itu ialah memotong berbagai hal yang menjadi bahan pikirannya, yakni membebaskan diri dari sebab-sebab yang membuat pikiran tertarik kepadanya. Bila hal-hal yang menjadi bahan pikiran itu tidak dilenyapkan maka pikiran tidak akan terpalingkan darinya. Siapa yang mencintai sesuatu pasti banyak mengingatnya, sehingga dengan demikian ingatan kepada yang dicintai pasti melanda hati. Itulah sebabnya Anda melihat orang yang mencintai selain Allah pasti shalatnya tidak terhindar dari berbagai lintasan pikiran yang liar.
            Sedangkan ta'zhim (rasa hormat) merupakan keadaan hati yang lahir dari dua ma'rifat. Pertama, ma'rifat akan kemuliaan dan keagungan Allah, yang merupakan salah satu dasar iman. Siapa yang tidak diyakini keagungannya maka jiwa tidak akan mau mengagungkannya. Kedua, ma'rifat akan kehinaan diri dan statusnya sebagai hamba yang tidak memiliki kuasa apa-apa. Dari kedua ma'rifat ini lahir rasa pasrah (istikanah), tidak berdaya (inkisar) dan tunduk (khusyu') kepada Allah yang diungkapkannya dengan ta'zhim. Selagi ma'rifat akan kehinaan diri tidak berpadu dengan ma'rifat akan kemuliaan Allah maka keadaan ta'zhim dan khusyu' tidak akan terpadukan, karena orang yang merasa tidak memerlukan pihak lain dan merasa aman terhadap dirinya bisa saja ia mengetahui sifat-sifat keagungan orang lain tetapi kondisinya tidak mencerminkan khusyu' dan ta'zhim, sebab syarat yang lain yaitu ma'rifat akan kehinaan dirinya tidak menyertainya.
            Sedangkan haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) dan takut merupakan keadaan jiwa yang lahir dari ma'rifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya padanya, dan bahwa seandainya Dia membinasakan orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian maka semua itu tidak mengurangi kerajaan-Nya sedikitpun. Di samping mengetahui berbagai musibah dan ujian yang terjadi pada para Nabi dan Rasul tanpa memiliki kekuasaan untuk menolak. Tegasnya, semakin bertambah pengetahuannya tentang Allah semakin bertambah pula rasa takut dan haibah-Nya
            Sedangkan faktor penyebab timbulnya raja' (harap) ialah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasan ni'mat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya. khususnya janji sorga bagi orang yang shalat. Bila telah ada keyakinan kepada janji-Nya dan pengetahuan akan kelembutan-Nya maka pasti akan muncul raja'.
            Sedangkan haya' (rasa malu) akan'muncul melalui perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuannya dalam menunaikan hak-hak Allah. Rasa malu ini akan semakin kuat dengan mengetahui cacat-cacat dirinya, kekurang-ikhlasannya, keburukan batinnya, dan kecenderungannya kepada perolehan segera (duniawi) dalam semua amal perbuatannya. Di samping pengetahuannya akan segala konsekuensi kemuliaan Allah, dan bahwa Dia Maha Mengetahui rahasia dan lintasan hati sampai yang sekecil-kecilnya. Berbagai pengetahuan ini apabila benar-benar telah terwujudkan maka pasti akan melahirkan suatu keadaan yang disebut haya'.
            Itulah berbagai sebab dari sifat-sifat tersebut. Setiap sifat yang harus diwujudkan maka terapinya adalah dengan mewujudkan sebab yang dapat memunculkannya. Mengetahui sebab identik dengan mengetahui terapi. Ikatan semua sebab tersebut adalah keimanan dan keyakinan. Kekhusyu'an hati sangat bergantung kepada ada tidaknya keyakinan.
            Berdasarkan makna-makna yang telah kami sebutkan dalam masalah hati di atas, manusia terbagi menjadi:
(a)   Orang lalai yang mendirikan shalat tetapi hatinya tidak hadir sama sekali.
(b)   Orang yang mendirikan shalat sedang hatinya tidak pernah lalai sama sekali, bahkan bisa jadi sangat berkonsentrasi kepadanya sehingga tidak merasakan apa yang tengah terjadi di hadapannya.
            Bahkan sebagian orang wajahnya sampai pucat dan dadanya berguncang (karena takut). Semua itu tidak mustahil terjadi, karena banyak orang yang mengalami hal yang serupa karena takut kepada raja dunia, sekalipun para raja itu adalah makhluk yang lemah dan apa yang diperolehnya dari para raja itu sangat rendah nilainya. Bila Anda tanyakan kepada salah seorang yang baru saja keluar dari pertemuan dengan seorang raja atau menteri untuk menerima tugas-tugas yang harus dilakukannya kemudian Anda tanyakan tentang orang-orang yang ada disekitarnya atau tentang pakaian yang dikenakan raja, kadang-kadang dia tidak bisa memberitahukannya karena konsentrasinya kepada hal-hal yang tidak berkenaan dengan pakaiannya atau orang-orang yang ada di sekitarnya, "Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya." (Al-An'am: 132)
            Apa yang diperoleh setiap orang dari shalatnya sesuai dengan kadar rasa takut, khusyu' dan ta'zhim-nya, karena tempat penilaian Allah adalah hati. Tidak akan selamat kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Semoga Allah mengaruniakan kelembutan dan kedermawanNya kepada kita.
            Urgensi puasa dalam tazkiyatun-nafs menduduki derajat ketiga setelah shalat dan zakat, karena di antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. Sedangkan puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk mengendalikan kedua syahwat tersebut. Oleh sebab itu, puasa merupakan faktor penting dalam tazkiyatun nafs. Jika kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bersabar. Oleh sebab itu disebutkan dalam sebuah hadits: "Puasa adalah separuh kesabaran." (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, hadits hasan)
            Allah telah menjadikan puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat taqwa, firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar supaya kamu bertaqwa." (al-Baqarah: 183)
            Taqwa adalah tuntutan Allah kepada para hamba. Taqwa sama dengan tazkiyatun-nafs. Firman Allah: "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (asy-Syams: 7-10)
            Puasa ada yang sunnah dan ada pula yang wajib. Hukum-hukumnya sudah diketahui oleh orang yang hidup dalam lingkungan Islam. Karena buku ini berkaitan dengan tazkiyatun-nafs maka kami membatasi diri pada masalah adab-adab orang yang berpuasa, karena dengan adab-adab tersebut puasa akan dapat menunaikan perannya yang terbesar dalam tazkiyah. Marilah kita ikuti penjelasan al-Ghazali berikut ini.
Rahasia Puasa dan Syarat-syarat Batinnya
            Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: Puasa orang awam, puasa  orang khusus dan puasa orang super khusus. Puasa orang awam ialah, menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat. Puasa orang khusus ialah, menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan semua anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan puasa orang super khusus ialah, puasa hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga; juga menahan hati dari selain Allah secara total, dan puasa ini menjadi "batal" karena fikiran tentang selain Allah dan hari akhir; karena pikiran tentang dunia kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama karena dunia yang dimaksudkan untuk agama tersebut sudah termasuk bekal akhirat dan tidak lagi dikatakan sebagai dunia. Ini merupakan tingkatan para Nabi, Rasul, Shiddiqin dan Muqarrabin. Kami tidak akan memperpanjang lebar penjelasannya secara lisan tetapi kami akan merealisasikannya secara nyata. Ia adalah konsentrasi penuh kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Semakna dengan firman Allah: "Katakanlah: "Allah," kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya." (al-An'am: 91)
            Adapun puasa orang khusus ialah puasa orang-orang shalih yaitu menahan anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan kesempurnaannya ialah dengan enam perkara:
Pertama: Menundukkan pandangan dan menahannya dari berkeliaran memandang ke setiap hal yang dicela dan dibenci, ke setiap hal yang bisa menyibukkan hati dan melalaikan dari mengingat Allah 'azza wajalla.
Kedua: Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran, dan perdebatan; mengendalikannya dengan diam; menyibukkannya dengan dzikrullah dan tilawah al-Qur'an. Itulah puasa lisan. Sufyan berkata: Ghibah dapat merusak puasa. Basyar bin al-Harits meriwayatkannya darinya. Laits meriwayatkan dari Mujahid: Dua hal dapat merusak puasa: Ghibah dan dusta. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya puasa itu tidak lain adalah perisai; apabila salah seorang di antara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan pula bertindak bodoh; dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau mencacinya maka hendaklah ia mengatakan sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Ketiga: Menahan pendengaran dari mendengarkan setiap hal yang dibenci (makruh) karena setiap yang diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarkannya. Oleh sebab itu Allah menyamakan antara orang yang mendengarkan dan orang yang memakan barang yang haram, firman-Nya: "Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram." (Al-Ma'idah: 42)
Keempat: Menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan tangan dan kaki dari hal-hal yang dibenci, menahan perut dari berbagai syubhat pada waktu tidak puasa. Tidak ada artinya berpuasa, yaitu menahan makanan yang halal, kemudian berbuaka puasa dengan barang yang haram. Orang yang berpuasa seperti ini laksana orang yang membangun istana tetapi ia menghancurkan negeri, karena makanan yang halal itu hanya berbahaya lantara dikonsumsi terlalu banyak bukan lantaran jenisnya, sementara puasa hanya untuk menguranginya. Orang yang berhenti mengkonsumsi obat karena takut bahayanya, bila ia beralih meminum racun maka ia adalah orang bodoh. Barang yang haram adalah racun yang menghancurkan agama, sedangkan barang yang halal adalah obat yang bermanfaat bila dikonsumsi sedikit tetapi berbahaya bila terlalu banyak. Tujuan puasa ialah mengurangi makanan yang halal tersebut. Nabi saw bersabda: "Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga." (Diriwayatkan oleh N asa'i dan Ibnu Majah)
            Dikatakan: Ia adalah orang yang berbuka puasa dengan makanan yang haram. Dikatakan juga: Ia adalah orang yang menahan diri dari makanan yang halal tetapi berbuka dengan "memakan daging manusia" yakni dengan ghibah yang notabene haram. Dikatakan: Ia adalah orang yang tidak menjaga anggota badannya dari berbagai dosa.
Kelima: Tidak memperbanyak makanan yang halal pada saat berbuka puasa sampai penuh perutnya. Karena tidak ada wadah yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang penuh dengan makanan halal. Bagaimana puasanya bisa bermanfaat untuk menundukkan musuh Allah dan mengalahkan syahwat jika orang yang berpuasa itu pada saat berbuka melahap berbagai macam makanan untuk mengganti berbagai makanan yang tidak boleh dimakannya di siang hari? Bahkan telah menjadi tradisi, berbagai makanan disimpan dan dikumpulkan untuk dimakan pada bulan Ramadhan padahal makanan itu cukup untuk dimakan beberapa bulan di luar Ramadhan.
            Seperti diketahui bahwa tujuan puasa ialah pengosongan dan menundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa mencapai taqwa. Bila perut didorong dari pagi hingga sore sampai syahwatnya bangkit dan seleranya menjadi kuat kemudian (di saat berbuka) dipenuhi dengan berbagai makanan yang lezat hingga kenyang maka bertambahlah kelezatan dan kekuatannya hingga bangkitlah syahwatnya yang seharusnya terredam seandainya dibiarkan apa adanya. Esensi dan rahasia puasa ialah melemahkan berbagai kekuatan yang menjadi sarana syetan untuk kembali kepada keburukan. Tetapi hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan pengurangan makanan yakni memakan makanannya yang biasa dimakan setiap malam waktu tidak puasa, bahkan di antara adabnya ialah tidak memperbanyak tidur siang agar merasakan lapar dan dahaga dan merasakan lemahnya kekuatan sehingga hatinya menjadi jernih, kemudian berusaha agar setiap malam bisa melakukan tahajjud dan membaca wiridnya, karena bisa jadi syetan tidak mengitari hatinya sehingga bisa melihat berbagai kegaiban langit. Lailatul qadar adalah malam tersingkapnya sesuatu dari alam ghaib yang dimaksudkan oleh firman Allah: "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam kemuliaan." (Al-Qadr: 1) Barangsiapa yang meletakkan keranjang makanan di antara hati dan dadanya maka ia akan terhalangi dari malam kemuliaan tersebut. Dan barangsiapa mengosongkan perutnya sama sekali maka hal itu tidak akan cukup untuk mengangkat hijab selagi keinginannya tidak terbebas dari selain Allah. Itulah inti segala permasalahannya. Sedangkan prinsip semua itu adalah mempersedikit makanan.
Keenam: Hendaknya setelah ifthar hatinya "tergantung" dan "terguncang" antara cemas dan harap, sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga termasuk golongan Muqarrabin atau ditolak sehingga termasuk orang-orang yang dimurkai?  Hendaklah hatinya dalam keadaan demikian di akhir setiap ibadah yang baru saja dilaksanakan. Di riwayatkan dari al-Hasan bin Abui Hasan al-Bashri bahwa ia melewati suatu kaum yang tengah tertawa, lalu ia berkata: Sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi makhluk-Nya, kemudian ada orangorang yang berlomba hingga menang dan ada pula orang-orang yang tertinggal lalu kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan ialah pemain yang tertawa-tawa di saat orang-orang berpacu meraih kemenangan. Abu Darda' berkata: Duhai indah tidurnya orang-orang cerdas dan tidak puasanya mereka, bagaimana mereka tidak mencela puasa orang-orang bodoh dan begadangnya mereka! Sungguh Satu butir dari kebaikan dari orang yang yakin dan bertaqwa lebih utama dan lebih kuat ketimbang segunung ibadah dari orang-orang yang tertipu. Oleh sebab itu, sebagian ulama' berkata: Berapa banyak orang yang berpuasa sesungguhnya dia tidak berpuasa dan berapa banyak orang yang tidak berpuasa tetapi sesungguhnya ia berpuasa.
Nabi Saw bersabda:
"Puasa adalah amanah maka hendaklah salah seorang di antara kamu menjaga amanahnya." (Diriwayatkan oleh al-Khara'ithi dan sanadnya hasan)
            Itulah pembahasan diatas mengenai tazkiyatun nafs baik dari segi pembahasan sampai dengan hakikat tazkiyatun nafs. Semoga dengan pembahasan ini kita semakin paham dalam beribadah dalam mengharap pahala yang besar dari Allah subhanahu Wa ta’ala. Dan kita juga semakin berhati-hati dalam hal dunia, bahwasanya dunia hanya kesenangan menipu baik kita mengaku sudah kuat imamnya maupun masih proses. Setan akan terus menggoda kita dan menjeremuskan kita dalam kesesatan dunia.
            Alangkah beruntungnya orang-orang yang sudah mendapat ke khusyu’an dalam ibadahnya, sehingga mereka merasa bahagia dalam menjalani kehidupannya. Jika anda membaca tulisan ini, saya harap anda tidak hanya membacanya tapi anda harus mempraktekkan dan mengamalkannya dalam kehidupan anda. Ada banyak pembahasan mengenai tazkiyatun nafs, saya menulisnya hanya sebagian kecil dari pembahasan tersebut. Semoga anda yang membaca tulisan ini tidak puas begitu saja dan mencari lagi referensi lain.

SEMOGA BERMANFAAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar