TAZKIYATUN NAFS
Oleh : Muh Asdar
Jika kita sering mendengar kata tazkiyatun nafs, apa yang
pertama kali muncul di benak kalian? Tentang adab dan murid apakah kalian
pernah mendenganya?. Ya, tazkiyatun nafs mengcakup semua itu. Bagaimana
perilaku murid terhadap gurunya, mulai dari niat hingga sampai dengan menuntut
ilmu dari sang guru.
Untuk pembahasan
selanjutnya, mari kita bahas mulai dari pengertian hingga sampai dengan hal-hal
yang penting untuk kita simak.
Para Rasul ‘alaihi shalatu wassalam dituntut mengingatkan
kita kepada ayat-ayat Allah, mengajarkan hidayah-Nya dan mensucikan jiwa dengan
ajaran-Nya. Ta’lim. Tadzkir dan tazkiyah termasuk misi terpenting
para Rasul.
"Wahai Tuhan kami,
utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan
hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana." (Al-Baqarah: 129)
Jelas bahwa
tazkiyatun-nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang yang bertaqwa,
dan menentukan keselamatan atau kecelakaan di sisi Allah. Tazkiyah secara etimologis punya dua
makna: Penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah.
Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan
cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma'
dan shifat sebagai akhlaqnya (takhallua). Pada akhirnya tazkiyah adalah
tathahhur, tahaqquq-dan takhalluq. Kesemuanya ini memiliki berbagai sarana yang
syaf'i, hakekat dan hasil-hasil )'ang syar'i pula. Dampak dan pengaruhnya akan
nampak pada perilaku dalam berinteraksi dengan Allah dan makhluk, dan dalam
mengendalikan anggota badan sesuai perintah Allah. Barangkali rincian masalah
ini merupakan isi terpenting dari pembahasan ini.
Tazkiyah hati dan jiwa
hanya bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan tertentu, apabila
dilaksanakan secara sempurna dan memadai. Pada saat itulah terealisir dalam
hati sejumlah makna yang menjadikan jiwa tersucikan dan memiliki sejumlah
dampak dan hasil pada seluruh anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan
lainnya. Hasil yang paling nyata dari jiwa yang tersucikan ialah adab dan
mu'amalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada Allah berupa pelaksanaan
hak-hak-Nya termasuk di dalamnya mengorbankan jiwa dalam rangka jihad di
jalan-Nya. Sedangkah kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan
taklif Ilahi. Jadi, tazkiyah memiliki berbagai sarana seperti shalat, infaq, puasa, haji, dzikir, fikir, tiiawah al-Qur'an,
renungan, muhasabah, dan dzikrul-tmut, apabila dilaksanakan secara sempurna dan
memadai.
Di antara pengaruhnya
ialah terealisirnya tauhid, ikhlas, shabar, syukur, cemas, harap, santun, jujur
kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan terhindarkannya dari
hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut seperti riya', 'ujub,
ghurur, marah karena nafsu atau karena syetan. Dengan demikian jiwa menjadi
tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalikannya anggota badan
sesuai peritah Allah dalam berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat
dan manusia.
Hal yang terjadi bahwa
tazkiyatul anfus mengalami kelemahan generasi demi generasi sehingga menuntut
pembaruan yang berkesinambungan. Seperti halnya setiap hari lahir jiwa-jiwa
baru di dalam ummat ini, demikian pula razkiyah seharusnya menyertai jiwa-jiwa
tersebut. Barangkali kelemahan tazMyah di abad kita lebih banyak ketimbang pada
abad-abad yang lalu sehingga memerlukan
pembicaraan khusus tentang tazkiyah. Hal inilah yang menjadi pendorong lahirnya
jerih payah ini. Oleh sebab itu, pembicaraan terfokus pada sarana tazkiyah,
bagaimana ditunaikan secara sempurna pada berbagai maqam hati,
penyakit-penyakitnya dan akhlaqnya yang shalih. Juga pada adab berbagai
hubungan. Semua itu terkait secara langsung dengan tazkiyatul anfus.
Kami memilih untuk
mengambil intisari sebagian besar nilai-nilai ini dari kitab Ihya' 'Ulum ad-Din
yang ditulis oleh hujjatul Islam Muhammad al-Ghazali karena beberapa
sebab:
(1) Al-Ghazali menghadapi kelemahan kehidupan spiritual di
zamannya sebagaimana yang kita hadapi sekarang. Penyakitnya sama sedangkan al-Ghazali telah menjelaskan obatnya dengan
baik.
(2) Berbagai masalah yang dibahasnya meliputi apa yang telah
disebutkan oleh para pendahulunya,
sehingga kitabnya memuat hal yang tidak ada di dalam kitab lain. Kitab apa saja
menyangkut masalah ini berhutang budi kepadanya.
(3) Di dalam Ihya'., tertuang intelektualitas dan analisis
al-Ghazali. Ia adalah tumpuan harapan realisasi semua yang diyakini dan
ditulisnya. Oleh sebab itu, pembicaraannya punya kekuatan dan tenaga di dalam
jiwa, yang tidak ada bandingannya dalam pembicaraan para penulis lainnya.
Setiap orang yang berinteraksi dengan Ihya' pasti merasakan hal ini. Tetapi
Ihya' itu sendiri, sebagaimana kitab manusia yang lain, mengandung banyak
kekurangan sehingga sebagian peneliti menolak sebagian isinya. Di samping itu, pembahasannya terbagi atas beberapa
bagian: Sebagian lebih dekat kepada fiqh, sebagian lagi lebih dekat kepada
nasehat, analisa, ilmu syari'at, ilmu logika atau tazkiyatun-nafi yang kita
inginkan. Oleh karena itu, kami berusaha keras untuk membuat semacam ringkasan
Ihya'.
Anda lihat bahwa zaman
kita sekarang ini adalah zaman dimana kekhusyu'an sangat sedikit tetapi cinta
dunia dan takut mati sangat mendominasi. Karena itu, seorang 'alim (guru atau
syaikh) yang tidak berhasil menghilangkan penyakit-penyakit ini maka ia tidak
banyak bisa melakukan tajdid. Seorang 'alim harus memiliki kemampuan seperti
ini sehingga para murid bisa merasakannya.
Seorang guru yang da'i
harus menyelenggarakan berbagai majlis nasehat, majlis ilmu dan majlis
tazkiyah. sehingga mungkin bisa menggabungkan antara yang satu dengan yang
lain. Atau membuat majlis umum untuk nasehat dan majlis khusus untuk tazkiyah
yang menyelenggarakan dzikir dan mudzakarah fardiyah atau jama 'iyah dengan
membaca sesuatu yang paling cocok dalam hal ini. Sementara itu diadakan pula
majlis-majlis yang lain untuk ilmu-ilmu yang rinci seperti tilawah, tajwid,
as-Sunnah dan ilmu-ilmunya, tafsir, ilmu-ilmu al-Qur'an. fiqh. ushul fiqh dan
lain sebagainya.
Titik awal keberhasilan
amal ini adalah adab yang mengatur guru dan murid. Selagi tidak ada adab yang
mengikat murid dengan gurunya maka tidak akan bisa berlanjut dalam perjalanan.
Selagi guru tidak melaksanakan adab ta'lim (mengajarkan ilmu) maka
keberhasilannya sangat ditentukan oleh sejauhmana ia melaksanakan adab-adab
tersebut. Oleh karena itu, mengetahui adab guru dan murid termasuk hal yang
sangat penting dalam perjalanan kepada Allah, bahkan untuk menegakkan agama dan
dunia.
Gerakan da'wah yang paling berhasil dalam sejarah Islam adalah gerakan yang
menekankan sejak awal pada:
(1)
Kepercayaan
(tsiqah) kepada pimpinan dan pemimpin, kepercayaan yang menumbuhkan ketaatan
hati.
(2)
Dzikir
terus menerus dan ilmu yang menyeluruh, yang diperlukan dan yang sesuai.
(3)
Keakraban
dengan lingkungan yang baik, menghadiri pertemuanpertemuannya dzikir, Ilmu dan
lainnya dan memperkuat berbagai hubungan antar anggotanya.
(4)
Penumbuhan
adab-adab hubungan yang baik antara dirinya dan manusia secara umum.
(5)
Pelaksanaan
public service (khidmah 'aammah) dengan penuh semangat dan perhatian. Gerakan
yang menghimpun nilai-nilai ini pada para pemula-nya adalah gerakan yang mampu
hidup dan tumbuh. Oleh karena itu, para ulama aktivis harus menekankan
nilai-nilai ini agar bisa diserap dan dihayati oleh para pemula sejak awal.
Nuh alaihisalam menyeru
kaumnya seraya berkata: "Sembahlah
Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku." (Nuh: 3)
Setiap Rasul menyeru
kaumnya kepada hal yang sama: "Dan Kami tidakmengutus seorang Rasulpun
sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al-Anbiya':
25)
Nabi Hud, Shalih, Syu'aib
dan lainnya juga berseru: "Betaqwalah kalian kepada Allah dan ta'atlah
kepadaku."
Selama seorang murabbi
tidak berhasil menumbuhkan ketaatan yang penuh kesadaran dari seorang murid,
membiasakannya melakukan ibadah, dan merealisasikan ketaqwaannya maka
sesungguhnya ia belum berbuat sesuatu. Titik awal hal ini terletak pada ihtiram
(penghormatan) dan tsiqah (kepercayaan) seorang murid kepada gurunya, dan
kelayakan guru mendapatkan hal tersebut. Semua ini membuat kami harus memulai
kajian ini dengan Adab Guru dan Murid dari kitab Ihya'. Marilah kita ikuti
keterangan al-Ghazali secara langsung.]
Dalam pembahasan ini kita
akan membagi beberapa adab murid dan guru,silahkan baca dan simak.
A. Adab Murid
Murid memiliki adab dan
tugas (wazhifati) lahiriyah yang banyak, ada sepuluh bagian menurut beberapa
pengarang:
1. Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlaq dan
keburukan sifat
2. Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena
ikatan-ikatan itu menyibukkan dan memalingkan.
3. Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan
tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru.
4. Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri
dari mendengarkan perselisihan di antara manusia, baik apa yang ditekuninya itu
termasuk ilmu dunia ataupun ilmu akhirat.
5. Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu
cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu.
6. Tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus tetapi menjaga
urutan dan dimulai dengan yang paling penting.
7. Hendaklah tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai
cabang ilmu yang sebelumnya.
8. Hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa
mengetahui ilmu yang paling mulia.
9. Hendaklah tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan
mempercantik batinnya dengan keutamaan
10. Hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar
supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat darpada yang jauh, dan yang penting
daripada yang lainnya.
B. Adab Guru
1. Belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak.
2. Meneladani Rasulullah shallallahi’alaihi wassalam
dengan tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun
ucapan terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan tagarrub
kepada-Nya.
3. Tidak meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali.
4. Mencegah murid dari akhlak tercela, dengan cara tidak
langsung dan terang-terangan sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan
dengan celaan.
5. Guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu
yang tidak ditekuninya.
6. Membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid.
7. Murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya
hal-hal yang jelas dan cocok dengannya, dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di
balik itu ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya.
8. Hendaknya guru melaksanakan ilmunya; yakni perbuatannya tidak
mendustakan perkataannya.
HAKIKAT TAZKIYATUN NAFS
Fitrah manusia bisa
terkontaminasi oleh najis ma'nawi seperti kemusyrikan, Allah berfirman, "Sesungguhnya
orang-orang musyrik itu najis" (At-Taubah: 28), terkontaminasi lumpur
hawa nafsu yang salah, "Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu"
(Maryam: 59), atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang yang tidak
cocok untuk manusia, "Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)"
(Al-Furqan: 44).
Sebagaimana di dalam jiwa
juga terdapat kecenderungan untuk menentang rububiyah, seperti sikap sombong dan
angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh berbagai kegelapan sehingga tidak bisa
melihat berbagai hakikat sebagaimana mestinya. Karena itu, jika dikatakan tazkiyatun
nafs maka yang dimaksudkan ialah pembebasan jiwa dari berbagai najis yang
mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang keliru, berbagai perangai kebinatangannya
yang nista, penentangannya terhadap rububiyah, dan berbagai macam kegelapan.
Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk melaksanakan misi seperti ini.
Shalat adalah
sarana terbesar dalam tazkiyatun-nafs, dan pada waktu yang sama merupakan bukti dan ukuran
dalam tazkiyah. Ia adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna-makna 'ubudiyah,
tauhid dan syukur. Ia
adalah dzikir, gerakan berdiri, ruku', sujud dan duduk. Ia menegakkan ibadah dalam berbagai bentuk utama
bagi kondisi fisik. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan
kepada Allah, di samping
merupakan pengakuan terhadap rububiyah dan hak pengaturan. Penegakannya secara sempurna juga
akan dapat memusnahkan bibit-bibit 'ujub dan ghurur bahkan semua bentuk kemungkaran dan
kekejian. "Sesungguhnya shalat dapat mencegah kekejian dan kemungkaran." (al-'Ankabut: 29)
Shalat akan berfungsi sedemikian
rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, sunnah dan adab zhahir dan batin yang harus
direalisasikan oleh orang yang
shalat. Di antara adab zhahir ialah menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan, dan di antara
adab batin ialah khusyu' dalam melaksanakannya. Khusyu' inilah yang menjadikan shalat
memiliki peran yang lebih
besar dalam tath-hir (penyucian), peran yang lebih besar dalam tahaqquq dan takhalluq (merealisasikan
nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia). Tazkiyatun nafs berkisar seputar hal ini. Karena amalan-amalan shalat yang
bersifat lahiriyah masih tetap dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup
di lingkungan Islam, maka
di sini kami akan membatasinya dengan menyebutkan adab-adab batin yang disebut dengan ilmul khusyu'.
Sesungguhnya khusyu' merupakan
manifestasi tertinggi dari sehatnya hati. Jika ilmu khusyu' telah sirna maka
berarti hati telah rusak. Bila khusyu' tidak ada berarti hati telah didominasi
berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia
dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai
penyakit maka telah kehilangan kecenderungan kepada akhirat. Bila hati telah
sampai kepada keadaan ini maka tidak ada lagi kebaikan bagi kaum Muslimin.
Karena, cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan
persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia
dan agama.
Hilangnya khusyu'
merupakan tanda hilangnya kehidupan dan dinamika hati sehingga membuatnya tidak
bisa menerima nasehat dan didominasi oleh hawa nafsu. Bayangkanlah bagaimana
keadaannya setelah itu? Pada saat hawa nafsu mendominasi hati, dan nasehat atau
peringatan tidak lagi bermanfaat baginya maka berbagai syahwat pun merajalela
dan terjadilah perebutan kedudukan, kekuasaan, harta dan nafsu syahwat. Bila
hal-hal ini mendominasi kehidupan maka tidak akan terwujud kebaikan dunia atau
agama.
Khusyu' adalah ilmu
sebagaimana ditegaskan hadits Nabi saw. Ilmu ini tidak banyak yang
mengetahuinya. Bila Anda telah menemukan orang yang khusyu' yang bisa
mengantarkan Anda kepadanya maka berpegang teguhlah kepadanya karena
sesungguhnya ia orang yang benar-benar berilmu; sebab itulah tanda ulama'
akhirat: "Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur'an dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur alas muka mereka sambil bersujud, dan mereka
berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi. " Dan mereka menyungkur mas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyu.” (al-Isra': 107-109).
Sesungguhnya ilmu khusyu'
berkaitan dengan ilmu pensucian hati dari berbagai penyakit dan upaya
merealisasikan kesehatannya. Masalah ini merupakan tema yang sangat luas
sehingga para ulama' akhirat memulainya dengan mengajarkan dzikir dan hikmah
kepada orang yang berjalan menuju Allah sehingga hatinya hidup. Bila hatinya
telah hidup berarti mereka telah membersihkannya dari berbagai sifat yang
tercela dan menunjukkannya kepada sifat-sifat yang terpuji. Disinilah perlunya
pembiasaan hati untuk khusyu' melalui kehadiran (hudhur) bersama Allah dan
merenungkan berbagai nilai kehidupan. Kesemuanya ini di kalangan para ulama'
akhirat memiliki cara yang disyari'atkan. Seluruh kajian buku ini pada akhirnya
membantu merealisasikan khusyu' ini. Jika Anda dapat memadukannya dengan
persahabatan bersama orang-orang shalih yang khusyu' maka hal ini akan sangat membantu
Anda Mencapai khusyu'.
Khusyu' Dalam shalat merupakan
ukuran kekhusyu'an hati. Kekhusyu'an Anda Dalam shalat menjadi tanda kekhusyu'an
hati Anda. Berikut ini kami pilihkan aspek ini dari kajian al-Ghazali tentang shalat.
Semoga anda dapat merealisasikannya.
Al-Ghazali Rahiinahullah berkata:
"Marilah Kita mengkaji kaitan shalat dengan kekhusyu'an dan kehadiran
hati, kemudian makna-makna batiniyah berikut batas-batas, sebab-sebab dan
terapinya. Selanjutnya Marilah pula kita kaji rincian tentang hal yang harus
ada dalam setiap rukun shalat agar layak menjadi bekal akhirat."
Abdul Wahid bin Zaid
berkata, "Para ulama' sepakat bahwa seorang hamba tidak akan
mendapatkan (nilai) shalatnya kecuali apa yang disadarinya." Ia menuturkan pendapat ini sebagai kesepakatan
para ulama'. Pendapat seperti ini dari kalangan fuqaha' yang wira'i dan para
ulama' akhirat terlalu banyak untuk disebutkan. Sikap yang benar dalam masalah
ini adalah kembali kepada dalil-dalil syari'at. Berbagai aisar mendukung
persyaratan ini, hanya saja konteks fatwa dalam taklif yang zhahir harus diukur
dengan ukuran ketidakmampuan makhluk. Tidak mungkin dipersyaratkan kepada
manusia agar menghadirkan hati dalam semua shalat, sebab hal ini tidak bisa
dilakukan oleh semua orang kecuali sedikit. Jika tidak memungkinkan
mempersyaratkan isti'ab karena darurat maka tidak ada jalan lain.
Sekalipun demikian, kita berharap agar keadaan orang yang lalai dalam semua
shalatnya itu tidak seperti keadaan orang yang meninggalkan shalat sama sekali.
Sebab, pada umumnya, ia melakukan amal secara lahiriah dan masih bisa
menghadirkan hati sesaat.
Bagaimana tidak, sedangkan
orang yang shalat dalam keadaan hadats karena lupa maka shalatnya batal di sisi
Allah sekalipun tetap mendapatkan pahala sesuai dengan amaliah dan udzurnya
tersebut. Sekalipun demikian, tidak ada maksud untuk menentang fatwa para
fuqaha' yang memfatwakan keshahihan shalat orang yang lalai, karena hal ini termasuk
darurat fatwa sebagaimana telah kami ingatkan di muka. Siapa yang mengetahui rahasia
shalat pasti mengetahui bahwa kelalaian bertentangan dengannya. Kesimpulannya,
bahwa kehadiran hati adalah ruh shalat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran
hati pada saat takbiratul ihram. Bila kurang dari batas minimal ini berarti kebinasaan.
Semakin bertambah kehadiran hati semakin
bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup
yang tidak punya daya gerak sehingga mirip dengan mayit. Demikian pula shalat orang
yang lalai dalam seluruh pelaksanaan shalatnya kecuali pada waktu takbiratul ihram,
seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali. Kita memohon pertolongan
yang sebaik-baiknya dari Allah.
Makna-Makna Batin Yang Dengannya Tercapai "Kehidupan"
Shalat
Ketahuilah bahwa
makna-makna ini memiliki banyak ungkapan tetapi seluruhnya terangkum dalam enam
kalimat, yaitu: Kehadiran hati, tafahhum, ta'zhim, haibah, raja', dan haya'.
Berikut ini kami sebutkan rinciannya beserta sebab-sebabnya kemudian terapi
dalam mengupayakannya. Kehadiran hati yang kami maksudkan ialah mengosongkan
hati dari hal-hal yang tidak boleh mencampuri dan mengajaknya berbicara, sehingga
pengetahuan tentang perbuatan senantiasa menyertainya dan pikiran tidak berkeliaran
kepada selainnya. Selagi pikiran tidak terpalingkan dari apa yang tengah ditekuninya
sedangkan hatinya masih tetap mengingat apa yang tengah dihadapinya dan tidak
ada kelalaian di dalamnya maka berarti telah tercapai kehadiran hati.
Tetapi tafahhum
(kefahaman) terhadap makna pembicaraan merupakan sesuatu di luar kehadiran
hati. Bisa jadi hati hadir bersama lafazh atau bisa jadi juga tidak. Peliputan
hati terhadap pengetahuan tentang makna lafazh itulah yang kami maksudkan
dengan kefahaman. Berkenaan dengan maqam ini terjadi perbedaan di kalangan
manusia, karena tidak semua orang sama dalam memahami al-Qur'an dan berbagai
kalimat tasbih. Betapa banyak makna-makna yang sangat halus yang difahami oleh
orang yang tengah menunaikan shalat, padahal tidak pernah terlintas dalam
hatinya sebelum itu? Dari sinilah kemudian shalat dapat mencegah perbuatan keji
dan munkar, karena ia memahamkan banyak hal yang pada gilirannya dapat mencegah
perbuatan maksiat.
Sedangkan ta'zhim
(rasa hormat) juga merupakan perkara di luar kehadiran hati dan kefahaman;
sebab bisa jadi seseorang berbicara kepada budaknya dengan hati yang penuh
konsentrasi dan faham akan makna perkataannya tetapi ia tidak menaruh rasa
hormat kepadanya. Dengan demikian, ta'zhim merupakan tambahan bagi
kehadiran hati dan kefahaman.
Sedangkan haibah
(rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) merupakan tambahan bagi ta'zhim
bahkan ia adalah ungkapan tentang rasa takut yang bersumber dari ta'zhim,
karena orang yang tidak takut tidak bisa disebut ha'ib. Rasa takut dari
kalajengking, atau dari keburukan perangai seseorang dan yang sejenisnya
termasuk sebab-sebab yang rendah yang tidak disebut takut yang bersumber dari
rasa hormat (mahabah), sedangkan takut dari penguasa yang dihormati disebut
takut yang bersumber dari rasa hormat {mahabah). Haibah ialah rasa takut
yang bersumber dari penghormatan dan pemuliaan.
Sedangkan raja' (harap)
tidak diragukan lagi merupakan tambahan. Betapa banyak orang yang menghormati
seorang raja yang ditakuti tetapi tidak diharapkan balasannya. Sedangkan
seorang hamba dengan shalatnya harus mengharapkan ganjaran Allah, sebagaimana
ia takut hukuman Allah bila melakukan pelanggaran.
Sedangkan haya'
(rasa malu) merupakan tambahan bagi semua hal di atas, karena landasannya
adalah perasaan selalu kurang sempurna dan selalu berbuat dosa.
Hal-hal yang Menyebabkan Timbulnya Keenam Makna Ini
Ketahuilah bahwa faktor
penyebab kehadiran hati adalah himmah (perhatian utama), karena
sesungguhnya hatimu mengikuti perhatian utamamu, sehingga ia tidak akan 'hadir'
kecuali berkaitan dengan hal-hal yang menjadi perhatian utamamu. Bila ada
sesuatu yang menjadi perhatian utamamu maka hati pasti akan 'hadir' suka atau
tidak suka; karena hati terbentuk dan terkondisikan dengan perhatian utama
tersebut. Apabila hati tidak 'hadir' dalam shalat maka ia tidak akan pasif
begitu saja tetapi pasti berkeliaran mengikuti urusan dunia yang menjadi
perhatian utama Anda. Oleh karena itu, tidak ada kiat dan terapi untuk
menghadirkan hati kecuali dengan memalingkan himmah (perhatian utama)
kepada shalat. Sementara itu, himmah tidak akan terarahkan kepada shalat
selagi belum jelas bahwa tujuan yang dicari tergantung kepadanya. Dan itulah
keimanan dan pembenaran bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa
shalat merupakan sarana kepadanya. Bila hal ini didukung oleh hakikat
pengetahuan tentang betapa tidak berharganya dunia maka pasti akan melahirkan
kehadiran hati dalam shalat. Dengan sebab seperti ini hatimu akan 'hadir' bila
Anda berada di hadapan sebagian orang besar yang tidak berkuasa menimpakan
bahaya dan memberi manfaat kepadamu. Bila hati tidak bisa 'hadir' pada waktu
munajat kepada Maha Diraja yang di tangan-Nya segala kerajaan, kekuasaan,
manfaat dan bahaya, maka janganlah Anda mengira bahwa hal tersebut memiliki
sebab lain selain kelemahan iman. Karena itu, berjuanglah Anda untuk memperkuat
keimanan dengan jalan tersebut.
Sedangkan faktor penyebab
timbulnya tafahhum (kefahaman), setelah kehadiran hati, ialah senantiasa
berfikir dan mengarahkan pikiran untuk mengetahui makna. Terapinya terletak
pada menghadirkan hati disertai konsentrasi berfikir dan kesiagaan untuk
menolak berbagai lintasan pikiran (yang liar). Sedangkan terapi menolak
berbagai lintasan pikiran yang menyibukkan itu ialah memotong berbagai hal yang
menjadi bahan pikirannya, yakni membebaskan diri dari sebab-sebab yang membuat
pikiran tertarik kepadanya. Bila hal-hal yang menjadi bahan pikiran itu tidak
dilenyapkan maka pikiran tidak akan terpalingkan darinya. Siapa yang mencintai
sesuatu pasti banyak mengingatnya, sehingga dengan demikian ingatan kepada yang
dicintai pasti melanda hati. Itulah sebabnya Anda melihat orang yang mencintai
selain Allah pasti shalatnya tidak terhindar dari berbagai lintasan pikiran
yang liar.
Sedangkan ta'zhim
(rasa hormat) merupakan keadaan hati yang lahir dari dua ma'rifat. Pertama,
ma'rifat akan kemuliaan dan keagungan Allah, yang merupakan salah satu dasar
iman. Siapa yang tidak diyakini keagungannya maka jiwa tidak akan mau
mengagungkannya. Kedua, ma'rifat akan kehinaan diri dan statusnya sebagai hamba
yang tidak memiliki kuasa apa-apa. Dari kedua ma'rifat ini lahir rasa pasrah (istikanah),
tidak berdaya (inkisar) dan tunduk (khusyu') kepada Allah yang
diungkapkannya dengan ta'zhim. Selagi ma'rifat akan kehinaan diri tidak berpadu
dengan ma'rifat akan kemuliaan Allah maka keadaan ta'zhim dan khusyu'
tidak akan terpadukan, karena orang yang merasa tidak memerlukan pihak lain dan
merasa aman terhadap dirinya bisa saja ia mengetahui sifat-sifat keagungan
orang lain tetapi kondisinya tidak mencerminkan khusyu' dan ta'zhim,
sebab syarat yang lain yaitu ma'rifat akan kehinaan dirinya tidak menyertainya.
Sedangkan haibah
(rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) dan takut merupakan keadaan jiwa
yang lahir dari ma'rifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh
kehendak-Nya padanya, dan bahwa seandainya Dia membinasakan orang-orang
terdahulu dan orang-orang terkemudian maka semua itu tidak mengurangi
kerajaan-Nya sedikitpun. Di samping mengetahui berbagai musibah dan ujian yang
terjadi pada para Nabi dan Rasul tanpa memiliki kekuasaan untuk menolak.
Tegasnya, semakin bertambah pengetahuannya tentang Allah semakin bertambah pula
rasa takut dan haibah-Nya
Sedangkan faktor penyebab
timbulnya raja' (harap) ialah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya,
keluasan ni'mat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran
janji-Nya. khususnya janji sorga bagi orang yang shalat. Bila telah ada
keyakinan kepada janji-Nya dan pengetahuan akan kelembutan-Nya maka pasti akan
muncul raja'.
Sedangkan haya'
(rasa malu) akan'muncul melalui perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah
dan pengetahuannya akan ketidakmampuannya dalam menunaikan hak-hak Allah. Rasa
malu ini akan semakin kuat dengan mengetahui cacat-cacat dirinya,
kekurang-ikhlasannya, keburukan batinnya, dan kecenderungannya kepada perolehan
segera (duniawi) dalam semua amal perbuatannya. Di samping pengetahuannya akan
segala konsekuensi kemuliaan Allah, dan bahwa Dia Maha Mengetahui rahasia dan lintasan
hati sampai yang sekecil-kecilnya. Berbagai pengetahuan ini apabila benar-benar
telah terwujudkan maka pasti akan melahirkan suatu keadaan yang disebut haya'.
Itulah berbagai sebab dari
sifat-sifat tersebut. Setiap sifat yang harus diwujudkan maka terapinya adalah
dengan mewujudkan sebab yang dapat memunculkannya. Mengetahui sebab identik
dengan mengetahui terapi. Ikatan semua sebab tersebut adalah keimanan dan
keyakinan. Kekhusyu'an hati sangat bergantung kepada ada tidaknya keyakinan.
Berdasarkan makna-makna
yang telah kami sebutkan dalam masalah hati di atas, manusia terbagi menjadi:
(a)
Orang
lalai yang mendirikan shalat tetapi hatinya tidak hadir sama sekali.
(b)
Orang
yang mendirikan shalat sedang hatinya tidak pernah lalai sama sekali, bahkan
bisa jadi sangat berkonsentrasi kepadanya sehingga tidak merasakan apa yang
tengah terjadi di hadapannya.
Bahkan sebagian orang wajahnya
sampai pucat dan dadanya berguncang (karena takut). Semua itu tidak mustahil
terjadi, karena banyak orang yang mengalami hal yang serupa karena takut kepada
raja dunia, sekalipun para raja itu adalah makhluk yang lemah dan apa yang
diperolehnya dari para raja itu sangat rendah nilainya. Bila Anda tanyakan
kepada salah seorang yang baru saja keluar dari pertemuan dengan seorang raja
atau menteri untuk menerima tugas-tugas yang harus dilakukannya kemudian Anda
tanyakan tentang orang-orang yang ada disekitarnya atau tentang pakaian yang
dikenakan raja, kadang-kadang dia tidak bisa memberitahukannya karena
konsentrasinya kepada hal-hal yang tidak berkenaan dengan pakaiannya atau
orang-orang yang ada di sekitarnya, "Dan masing-masing orang memperoleh
derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya." (Al-An'am:
132)
Apa yang diperoleh setiap
orang dari shalatnya sesuai dengan kadar rasa takut, khusyu' dan ta'zhim-nya,
karena tempat penilaian Allah adalah hati. Tidak akan selamat kecuali orang
yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Semoga Allah mengaruniakan
kelembutan dan kedermawanNya kepada kita.
Urgensi puasa dalam
tazkiyatun-nafs menduduki derajat ketiga setelah shalat dan zakat, karena di
antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut
dan kemaluan. Sedangkan puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk
mengendalikan kedua syahwat tersebut. Oleh sebab itu, puasa merupakan faktor
penting dalam tazkiyatun nafs. Jika kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi
maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bersabar. Oleh sebab itu disebutkan dalam
sebuah hadits: "Puasa adalah separuh kesabaran." (Diriwayatkan
oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, hadits hasan)
Allah telah menjadikan puasa sebagai sarana untuk
mencapai derajat taqwa, firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan
puasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar
supaya kamu bertaqwa." (al-Baqarah:
183)
Taqwa adalah tuntutan Allah kepada para hamba. Taqwa sama
dengan tazkiyatun-nafs. Firman Allah: "Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (asy-Syams: 7-10)
Puasa ada yang sunnah dan
ada pula yang wajib. Hukum-hukumnya sudah diketahui oleh orang yang hidup dalam
lingkungan Islam. Karena buku ini berkaitan dengan tazkiyatun-nafs maka kami
membatasi diri pada masalah adab-adab orang yang berpuasa, karena dengan
adab-adab tersebut puasa akan dapat menunaikan perannya yang terbesar dalam
tazkiyah. Marilah kita ikuti penjelasan al-Ghazali berikut ini.
Rahasia Puasa dan Syarat-syarat Batinnya
Ketahuilah bahwa puasa ada
tiga tingkatan: Puasa orang awam, puasa orang
khusus dan puasa orang super khusus. Puasa orang awam ialah, menahan perut dan
kemaluan dari memperturutkan syahwat. Puasa orang khusus ialah, menahan
pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan semua anggota badan dari
berbagai dosa. Sedangkan puasa orang super khusus ialah, puasa hati dari
berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga; juga
menahan hati dari selain Allah secara total, dan puasa ini menjadi
"batal" karena fikiran tentang selain Allah dan hari akhir; karena pikiran
tentang dunia kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama karena dunia yang
dimaksudkan untuk agama tersebut sudah termasuk bekal akhirat dan tidak lagi
dikatakan sebagai dunia. Ini merupakan tingkatan para Nabi, Rasul, Shiddiqin
dan Muqarrabin. Kami tidak akan memperpanjang lebar penjelasannya secara lisan
tetapi kami akan merealisasikannya secara nyata. Ia adalah konsentrasi penuh
kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Semakna dengan firman Allah:
"Katakanlah: "Allah," kemudian biarkanlah mereka bermain-main
dalam kesesatannya." (al-An'am: 91)
Adapun puasa orang khusus
ialah puasa orang-orang shalih yaitu menahan anggota badan dari berbagai dosa.
Sedangkan kesempurnaannya ialah dengan enam perkara:
Pertama:
Menundukkan pandangan dan menahannya dari berkeliaran memandang ke setiap hal
yang dicela dan dibenci, ke setiap hal yang bisa menyibukkan hati dan
melalaikan dari mengingat Allah 'azza wajalla.
Kedua:
Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar,
pertengkaran, dan perdebatan; mengendalikannya dengan diam; menyibukkannya
dengan dzikrullah dan tilawah al-Qur'an. Itulah puasa lisan. Sufyan berkata:
Ghibah dapat merusak puasa. Basyar bin al-Harits meriwayatkannya darinya. Laits
meriwayatkan dari Mujahid: Dua hal dapat merusak puasa: Ghibah dan dusta. Nabi
saw bersabda: "Sesungguhnya puasa itu tidak lain adalah perisai;
apabila salah seorang di antara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata
kotor dan jangan pula bertindak bodoh; dan jika ada seseorang yang menyerangnya
atau mencacinya maka hendaklah ia mengatakan sesungguhnya aku berpuasa,
sesungguhnya aku berpuasa." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Ketiga:
Menahan pendengaran dari mendengarkan setiap hal yang dibenci (makruh) karena
setiap yang diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarkannya. Oleh sebab
itu Allah menyamakan antara orang yang mendengarkan dan orang yang memakan
barang yang haram, firman-Nya: "Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram." (Al-Ma'idah: 42)
Keempat:
Menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan
tangan dan kaki dari hal-hal yang dibenci, menahan perut dari berbagai syubhat
pada waktu tidak puasa. Tidak ada artinya berpuasa, yaitu menahan makanan yang
halal, kemudian berbuaka puasa dengan barang yang haram. Orang yang berpuasa
seperti ini laksana orang yang membangun istana tetapi ia menghancurkan negeri,
karena makanan yang halal itu hanya berbahaya lantara dikonsumsi terlalu banyak
bukan lantaran jenisnya, sementara puasa hanya untuk menguranginya. Orang yang
berhenti mengkonsumsi obat karena takut bahayanya, bila ia beralih meminum
racun maka ia adalah orang bodoh. Barang yang haram adalah racun yang menghancurkan
agama, sedangkan barang yang halal adalah obat yang bermanfaat bila dikonsumsi
sedikit tetapi berbahaya bila terlalu banyak. Tujuan puasa ialah mengurangi
makanan yang halal tersebut. Nabi saw bersabda: "Berapa banyak orang yang
berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan
dahaga." (Diriwayatkan oleh N asa'i dan Ibnu Majah)
Dikatakan: Ia adalah orang
yang berbuka puasa dengan makanan yang haram. Dikatakan juga: Ia adalah orang
yang menahan diri dari makanan yang halal tetapi berbuka dengan "memakan
daging manusia" yakni dengan ghibah yang notabene haram. Dikatakan: Ia
adalah orang yang tidak menjaga anggota badannya dari berbagai dosa.
Kelima:
Tidak memperbanyak makanan yang halal pada saat berbuka puasa sampai penuh
perutnya. Karena tidak ada wadah yang paling dibenci oleh Allah selain perut
yang penuh dengan makanan halal. Bagaimana puasanya bisa bermanfaat untuk
menundukkan musuh Allah dan mengalahkan syahwat jika orang yang berpuasa itu
pada saat berbuka melahap berbagai macam makanan untuk mengganti berbagai
makanan yang tidak boleh dimakannya di siang hari? Bahkan telah menjadi
tradisi, berbagai makanan disimpan dan dikumpulkan untuk dimakan pada bulan
Ramadhan padahal makanan itu cukup untuk dimakan beberapa bulan di luar
Ramadhan.
Seperti diketahui bahwa
tujuan puasa ialah pengosongan dan menundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa
mencapai taqwa. Bila perut didorong dari pagi hingga sore sampai syahwatnya
bangkit dan seleranya menjadi kuat kemudian (di saat berbuka) dipenuhi dengan
berbagai makanan yang lezat hingga kenyang maka bertambahlah kelezatan dan
kekuatannya hingga bangkitlah syahwatnya yang seharusnya terredam seandainya
dibiarkan apa adanya. Esensi dan rahasia puasa ialah melemahkan berbagai
kekuatan yang menjadi sarana syetan untuk kembali kepada keburukan. Tetapi hal
itu tidak akan tercapai kecuali dengan pengurangan makanan yakni memakan makanannya
yang biasa dimakan setiap malam waktu tidak puasa, bahkan di antara adabnya
ialah tidak memperbanyak tidur siang agar merasakan lapar dan dahaga dan
merasakan lemahnya kekuatan sehingga hatinya menjadi jernih, kemudian berusaha
agar setiap malam bisa melakukan tahajjud dan membaca wiridnya, karena bisa
jadi syetan tidak mengitari hatinya sehingga bisa melihat berbagai kegaiban
langit. Lailatul qadar adalah malam tersingkapnya sesuatu dari alam ghaib yang
dimaksudkan oleh firman Allah: "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada
malam kemuliaan." (Al-Qadr: 1) Barangsiapa yang meletakkan keranjang
makanan di antara hati dan dadanya maka ia akan terhalangi dari malam kemuliaan
tersebut. Dan barangsiapa mengosongkan perutnya sama sekali maka hal itu tidak
akan cukup untuk mengangkat hijab selagi keinginannya tidak terbebas dari
selain Allah. Itulah inti segala permasalahannya. Sedangkan prinsip semua itu
adalah mempersedikit makanan.
Keenam:
Hendaknya setelah ifthar hatinya "tergantung" dan
"terguncang" antara cemas dan harap, sebab ia tidak tahu apakah
puasanya diterima sehingga termasuk golongan Muqarrabin atau ditolak sehingga
termasuk orang-orang yang dimurkai? Hendaklah
hatinya dalam keadaan demikian di akhir setiap ibadah yang baru saja dilaksanakan.
Di riwayatkan dari al-Hasan bin Abui Hasan al-Bashri bahwa ia melewati suatu
kaum yang tengah tertawa, lalu ia berkata: Sesungguhnya Allah menjadikan bulan
Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi makhluk-Nya, kemudian
ada orangorang yang berlomba hingga menang dan ada pula orang-orang yang tertinggal
lalu kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan ialah pemain yang tertawa-tawa di saat
orang-orang berpacu meraih kemenangan. Abu Darda' berkata: Duhai indah tidurnya
orang-orang cerdas dan tidak puasanya mereka, bagaimana mereka tidak mencela puasa
orang-orang bodoh dan begadangnya mereka! Sungguh Satu butir dari kebaikan dari
orang yang yakin dan bertaqwa lebih utama dan lebih kuat ketimbang segunung ibadah
dari orang-orang yang tertipu. Oleh sebab itu, sebagian ulama' berkata: Berapa
banyak orang yang berpuasa sesungguhnya dia tidak berpuasa dan berapa banyak orang
yang tidak berpuasa tetapi sesungguhnya ia berpuasa.
Nabi Saw bersabda:
"Puasa adalah amanah maka hendaklah salah seorang di
antara kamu menjaga amanahnya." (Diriwayatkan oleh al-Khara'ithi dan sanadnya hasan)
Itulah pembahasan diatas
mengenai tazkiyatun nafs baik dari segi pembahasan sampai dengan hakikat
tazkiyatun nafs. Semoga dengan pembahasan ini kita semakin paham dalam
beribadah dalam mengharap pahala yang besar dari Allah subhanahu Wa ta’ala. Dan
kita juga semakin berhati-hati dalam hal dunia, bahwasanya dunia hanya
kesenangan menipu baik kita mengaku sudah kuat imamnya maupun masih proses.
Setan akan terus menggoda kita dan menjeremuskan kita dalam kesesatan dunia.
Alangkah beruntungnya
orang-orang yang sudah mendapat ke khusyu’an dalam ibadahnya, sehingga mereka
merasa bahagia dalam menjalani kehidupannya. Jika anda membaca tulisan ini,
saya harap anda tidak hanya membacanya tapi anda harus mempraktekkan dan
mengamalkannya dalam kehidupan anda. Ada banyak pembahasan mengenai tazkiyatun
nafs, saya menulisnya hanya sebagian kecil dari pembahasan tersebut. Semoga
anda yang membaca tulisan ini tidak puas begitu saja dan mencari lagi referensi
lain.
SEMOGA BERMANFAAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar