Yang
Melemahkan Ikatan Dalam Amal Jama’i
Oleh:
Muhammad Asdar
Sebuah
perjalanan, selalu tidak pernah mulus dan menyenangkan. Ada kalanya, perjalanan
harus ditempuh dengan suasana yang tidak menyenangkan, bahkan mungkin menyakitkan.
Tapi itulah tabiat perjalanan. Sebagaimana perjalanan kami dijalan dakwah, yang
juga menyimpan situasi-situasi tertentu yang bisa membuat kami bersedih, kecewa
dan tertekan.
Beramal jama’i memiliki seni
interaksi sendiri yang harus dimiliki siapa saja yang ingin melakukannya. Ini bukan
perkara mudah, dan karenanya tidak semua orang bisa berada dalam bangunan amal
jama’i untuk dakwah ilallah ini. Ada beberapa keadaan yang umumnya bisa melemahkan
seseorang dalam beramal jama’i.
Pertama: Masalah Al-Fahm (pemahaman).
Ada pendapat memandang bahwa amal jama’i termasuk ibadah nafilah yang boleh
dilakukan dan boleh ditinggalkan. Bahkan mungkin ada yang menganggapnya tidak
sampai pada kedudukan nafilah. Padahal benturan ideologi yang mengelilingi umat
islam saat ini, maka tak ada cara yang paling baik dilakukan untuk menolong
agama Allah, kecuali amal jama’i yang teratur menjadi kewajiban bagi setiap muslim.
Barangkali masalahnya kemudian
muncul pada tingkat definisi jamaah yang juga memunculkan perbedaan dalam
menilai jama’ah mana yang paling utama dan lebih baik sebagai saluran
perjuangan dakwah. Ini perselisihan yang biasa saja. Dan tidak menjadi hukum
beramal jama’I menjadi haram dan sesuatu yang diada-adakan di dalam agama
islam.
Maka, pelurusan pemahaman yang benar
tentang amal jama’I, harus dilakukan terlebih dahulu kepada siapapun yang ingin
bergabung di dalamnya. Setelah segala sesuatunya jelas, barulah kebersamaan
bisa dibangun lebih solid dan kuat. Dan kemungkinan perpecahan dan perselisihan
akan menjadi lebih kecil.
Kedua: ketakutan dan
kekhawatiran. Maksudnya, sikap meninggalkan amal jama’I bisa dilatarbelakangi
adanya kkekhawatiran terhadap amal-amal islam yang dilakukan secara terorganisir
dan tertata rapi. Rasa takut itu lalu dimunculkan pendapat agar amal-amal
dakwah islam itu hanay ada di medan ceramah, khutbah, dan dakwah secara umum. Mereka
sangat khawatir terhadap seorang da’I jika perannya verkembang menjadi seorang
murabbi yang menghimpun banyak orang lalu memulai pengkaderan secara baik, bahkan
berlanjut pada tahap kepemimpinan.
Kekhawatiran
Sebagian orang itu mungkin terserap oleh saudara-saudara kami dijalan ini, hingga
dalam tahap mengkhawatirkan keadaan diri, keluarga dan masa depan mereka jika tetap
berada dalam orbit amal jama’i.
Sikap merasa khawatir dan resah
seperti yang dimiliki Sebagian orang terhadap dakwah yang terorganisir sebenarnya
bukan sesuatu yang baru dalam sejarah dakwah. Dahulu, orang-orang kafir Makkah mendiamkan
dan membiarkan saja sejumlah orang yang tidak menyemba berhala dan memeluk
agama tauhid, Seperti Zuhair Bin Salma, Amr Bin Nufail dan lainnya. Mereka tidak
sujud kepada berhala, tapi mereka juga tidak melakukan seperti apa yang mereka Yakini.
Mereka juga tidak melakukan pengorganisasian untuk mendakwahkan manusia agar
meninggalkan penyembahan berhala, baik berhala manusia ataupun patung (paganisme).
Tapi mereka juga tetap berada disekeliling Rasulullah Shallalahu alaihi
wasallam Bersama para sahabatnya.
Dalam situasi seperti ini, kami
harus memperkuat keyakinan kepada Allah Swt bahwa apapun yang menimpa kami belum
tentu karena kesalahan kami. Dan kesalahan kami belum tentu membawa musibah
bagi kami. Kami harus memperkuat aqidah kami bahwa “bila seluruh umat
manusia ini berkumpul memberi manfaat, mereka tidak akan bisa memberikannya kecuali
dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Dan bila seluruh manusia
berpadu memberi mudharat bahaya, mereka tidak akan memberikannya kecuali dengan
apa yang ditetapkan Allah swt.” Kami tidak akan mati sampai jatah usia dan
rizki kami yang telah dituliskan Allah swt, habis. Semoga dengan demikian,
dunia menjadi tidak lebih berharga dalam hati kami ketimbang akhirat.
Seperti itulah nasihat waraqah bin
nufail, saat mengetahui tanda-tanda kenabian dari diri Rasulullah Saw. Ia mengatakan
“Andai aku seorang pemuda yang kuat, ketika kaummu mengusirmu.” Rasulullah Sawa terkejut dengan perkataan itu
dan mengatakan, “apakah mereka akan mengusirku?” waraqah menjawab, “belum
pernah ada seorangpun yang membawa ajaran seperti yang engkau bawa, kecuali
pasti kaumnya akan mendustakannya.”
Ketiga: Motif
ketertarikan terhadap individu, bukan kepada manhaj. Ada Sebagian orang yang
memandang para tokoh jama’ah dakwah dengan pandangan sangat ideal hingga pada
tahap yang tidak logis. Memang, tidak sedikit orang yangb bergabung dalam amal
jama’i lantaran terpesona dengan sikap sejumlah tokohnya. Ia memandang
pendahulunya dengan kekaguman di luar kemanusiaannya yang mungkin melakukan
kesalahan atau kebenaran. Bisa semangat dan bisa pula Lelah. Lalu bila orang
yang di idolakan itu mengalami kelemahan, ia menjadi sangat kecewa hingga
meninggalkan amal dakwah. Bahkan ada yang lantas melakukan perilaku menyimpang
secara terang-terangan, sebagai wujud perlawanannya terhadap jama’ah dakwah dan
orang-orangnya yang semula diidolakannya.
Jika kami terikat dengan sebuah
manhaj (sistem dan cara) berjuang yang dilakukan sebuah jamaah, bukan kepada
individu-individunya, maka kami terhindar dari peristiwa seperti itu. Benar, bahwa
para pendahulu dan para senior seharusnya memiliki sikap yang baik bagi orang-orang
disekitarnya. Tetapi, tetap saja hal ini tidak menyebabkan mereka kehilangan
kemanusiaanya, dan tidak pernah memiliki kekurangan.
Demikianlah, tiga sebab yang kami nilai sebagai
sebab-sebab yang melemahkan seseorang dalam beramal jama’i. tentu tidak semua
problematika yang memutuskan amal jama’i terfokus pada tiga hal tersebut, tapi
setidaknya tiga hal itulah yang paling sering menjadi kendala. Selain itu, bisa
saja problemnya adalah masalah proses pembinaan diri dan karakter individu yang
memang tidak bisa beradaptasi dengan tuntutan amal jama’i. bisa juga karena ada
individu yang tidak mau berada pada posisi dipimpin, dan harus menjadi
pemimpin. Bahkan ada pula situasi dimana rintangan itu justru muncul karena
jamaah belum baik dalam penugasan, penempatan seseorang pada tempatnya. Dan berbagai
kendala lainnya yang bisa memutuskan orang dari amal jam’i, sesuai waktu dan
tempat.
Mengetahui sebab-sebab orang yang
meninggalkan amal jama’i bukan perkara mudah. Terlebih bila yang bersangkutan
tidak berterus terang tentang latar belakang sikapnya. Perlu penempatan yang
intensif dan waktu lama. Perlu pendekatan yang bertahap, sungguh-sungguh, hingga
akhirnya bisa ditemukan penyebabnya dan dicairkan jalan keluarnya.
Dalam hal ini, tentu saja musharahah
(keterusterangan) serta kejujuran menjadi penting bagi kami dan saudara-saudara
kami. Sesungguhnya kepercayaan antara kami akan semakin berbentuk kuat dengan
adanya keterusterangan ini. Dan keterusterangan, semua persoalan bisa dicari
pangkal masalahnya.
Kendari,
01 Mei 2021
Tulisan
ini hasil duplikasi dari buku “Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami” Oleh
M. Lili Nur Aulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar