NETRALITAS FILOSOF - MUHAMMAD ASDAR AX09

MUHAMMAD ASDAR AX09

Stay to focus And complete the journey

Video Perpustakaan Dan Masyarakat

Senin, 31 Mei 2021

NETRALITAS FILOSOF

 

NETRALITAS FILOSOF


Dalam kondisi carut-marut, sering kita dengar ajakan untuk bersikap netral. Netralitas, atau tidak memihak, dianggap sebagai pilihan bijak. Dari sini, mereka yang berkecimpung dalam dunia filsafat, diharuskan bersikap netral. Katanya, itu sebagai wujud cinta kebijaksanaan yang merupakan [salah satu] etimologi filsafat.

Filosof yang tidak netral, dianggap tidak bijak, serta dilabeli dengan gelar filosof murahan yang mengotori filsafat sebagai ilmu kebijaksanaan. Tentu menggelikan, terlebih lagi jika labelisasi tersebut disematkan oleh mereka yang anti akal dan mengharamkan filsafat.  Problemnya dimana? Problemnya berawal dari anggapan bahwa semua netral itu bijak.  Sehingga, filosof yang beretimologi pecinta kebijaksanaan, harus bersikap netral, sebagai wujud kebijaksanaan. Benarkah netral adalah pilihan bijak? Mari kita simak. 

Problem carut-marut dapat diklasifikasikan dalam dua ranah; teoretis dan praktis. Dalam ranah teoretis, problemnya berkaitan dengan benar dan salah. Adapun ranah praktis, yang menjadi problem adalah tentang baik dan buruk.  Dalam kedua ranah tersebut, filosof 'haram' bersikap netral. Ia mesti memihak. Dalam ranah teoretis, filosof mesti berpihak pada teori yang benar. Filosof menuliskan kebenaran, tak peduli walau banyak yang meradang kepanasan, bak kesurupan.  Filosof bukan obat penenang. Harmonisasi bukan upaya menenangkan semua pihak. Filosof adalah keberpihakan pada kebenaran. Dan itulah harmonisasi.  Bahkan, seperti Sokrates, filosof adalah lebah penyengat yang mengganggu tidur lelap akal manusia. Atau dalam terminologi Justin Garder, filosof adalah Joker yang mengusik nalar para kurcaci yang terbius zona nyaman.  Filosof adalah psikiater jiwa. Kepada pasien yang datang meminta saran, seorang psikiater harus memberikan saran berdasarkan keilmuannya, BUKAN berdasarkan keinginan pasien. 

Tak dipungkiri, sebagian pasien mengunjungi psikiater bukan untuk mendengar saran dari psikiater, tapi untuk mendengar persetujuan psikiater atas keinginan-keinginannya. Sehingga, bila saran yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan, pasien akan mencari psikiater lain yang mendukung keinginannya.  Di jagat maya, pun demikian. 

Tidak semua netizen mencari kebenaran dengan menganalisa konten postingan. Sebagian mereka hanya mencari pembenaran atas apa yang telah mereka yakini.  Postingan yang tidak sesuai dengan keyakinan, akan didislike. Pemostingnya pun dihujat. Filosof sekalipun, akan dianggap abal-abal, bila memosting sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka.  Sebaliknya, postingan yang sesuai dengan keyakinan, akan disuper dan dishare. Up meng up pun dimulai, betapapun kontennya irasional.  Walhasil, dalam ranah teoretis, filosof tidak boleh netral. Filosof mesti berpihak pada kebenaran. Filosof menulis berdasarkan kebenaran, bukan berdasarkan selera pembaca.

Jika pembaca jengkel, biarkan saja. Sebab filsafat, meminjam istilah Che Guevara, bukan pabrik manusia-manusia imitasi.  Ini ranah teoretis. Bagaimana dalam ranah praktis?  Dalam bukunya, totem parasti, Syari'ati menulis; "Akan kubutakan mataku, kutulikan telingaku, kupatahkan kakiku, kupotong-potong jemariku, kubelah dadaku, kubunuh hatiku. Bahkan, akan kupotong lidahku, dan kujahit mulutku. Tapi, PENAKU tidak akan pernah kuserahkan pada YANG ASING (bigoneh)".  Yang dimaksud Syari'ati dengan kata "yang asing", tentu bukan orang asing.

Ali Syari'ati bukan seorang rasis yang begitu benci pada orang asing dan semua hal yang berbau asing atau aseng. Ali Syari'ati adalah pejuang humanis transenden.  Olehnya itu, "yang asing" mesti dimaknai dengan yang asing dari kemanusiaan, atau yang kontra dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ali Syari'ati lebih memilih menanggung beragam derita fisik, daripada harus tunduk pada kesalahan.  Artinya, Ali Syari'ati komitmen untuk tidak akan menulis sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Apatah lagi menjadi mesin tik para penjajah kemanusiaan, yang melanjutkan misi pembodohan dengan tulisan.  Semua ini adalah cerita keberpihakan pada kebenaran. Seperti yang kita bahas sebelumnya, dalam ranah teoretis, filosof mesti memihak pada kebenaran. Filosof mesti menulis berdasarkan kebenaran, bukan berdasarkan selera netizen.

Dan itulah wujud dari cinta pengetahuan/kebijaksanaan, bukan cinta pujian.  Dalam ranah praktis, pun demikian. Filosof mesti memihak pada kebaikan. Dunia adalah pertarungan kebenaran dan kebatilan. Dalam diksi Syari'ati, disebut dengan pertarungan habilisme dengan qabilisme.   Dan para rausyan fikr, lanjut Syari'ati, mesti hadir dalam kontestasi tersebut dengan memihak pada habilisme. Berkenaan dengan ini, beliau menulis;  "Yang pergi (raftand, syahid), telah menjalankan perannya. Yang tinggal (mondand, hidup), mesti mengambil peran Zainabi, dengan mengabarkan nilai yang diperjuangkan para syuhada. Jika tidak, berarti mereka adalah 'Yazid'. Orang-orang yang hidup tanpa kepala". (Husain wores-e odam) 

Walhasil, dalam pentas teoretis (kebenaran-kesalahan), dan juga pentas praktis (kebaikan-keburukan), filosof mesti memihak pada nilai. Nilailah yang diperjuangkan oleh mereka yang menjunjung tinggi akal.  Namun tentu, keberpihakan adalah tahap kedua. Sebelumnya, ada tahap yang disebut dengan ANALISA. Dalam tahap analisa, NETRALITAS dibutuhkan.  Yakni, dalam menganalisa realitas atau informasi, akal tidak boleh dipengaruhi oleh rasa, semisal sentimen iman, ras dan semacamnya. Dalam bahasa penomenologi, biarkan realitas yang menjelaskan dirinya. 

Saat itu, ada kemungkinan kita akan berkata salah atau buruk, pada teman seiman. Dan berkata benar atau baik, pada mereka yang tak seiman. Sebab memang, neraca kebenaran bukan seiman, tapi korespondensi dengan realitas yang dibuktikan dengan argumentasi rasional.

 

Netral, Abstain dan Apatis 

Sekilas, ketiganya tampak semakna. Namun hakikatnya, berbeda makna. Netral berada dalam tahapan analisa terhadap ragam informasi/peristiwa. Jika informasi/peristiwa telah jelas salah-benar atau baik-buruknya, tetap netral tidaklah diindahkan.  Abstain yakni tidak memberikan suara yang disebabkan oleh ketiadaan analisa, atau analisa yang tidak berbuah hasil. Orang yang abstain adalah mereka yang tidak memihak karena masih ragu (belum tahu mana benar-salah, dan mana baik-buruk)..  Yakni, kadang kita abstain karena kita belum melakukan analisa. Kadang pula, kita menganalisa (tentu secara netral), namun kita tetap abstain lantaran analisa kita belum berbuah konklusi. Karena tak ada konklusi, maka timbullah keraguan.

Karena ragu, maka abstain adalah pilihan bijak.  Analisa yang berbuah konklusi akan melahirkan sikap memihak-tidak memihak. Entah itu memihak salah satunya, memihak semuanya (karena semuanya dianggap benar/baik), atau tidak memihak pada semuanya (karena semuanya dianggap salah/buruk), ini semua adalah tahap setelah analisa, ia bukan netral bukan pula abstain.  Sederhananya, netral adalah tahap konsepsi (tasawwur). Memihak atau tidak memihak adalah tahap judgmentasi (tashdiq).

Adapun abstain adalah tahap ketiadaan tashdiq.  Bagaimana dengan apatis. Apatis adalah tidak memberikan suara yang disebabkan oleh acuh dan sikap masa bodoh. Apatis adalah keengganan untuk ikut pusing. Ia tidak ingin mengonsepsi, terlebih lagi menashdiq. "Terserahlah apa yang terjadi, saya sih cuek aj", ini apatis.  Walaupun sama-sama tidak memberikan suara, namun abstain dan apatis tidaklah sama. Abstain adalah kepedulian. Sementara apatis adalah ketidakpedulian. Abstain tidak memberikan suara lantaran belum ada pengetahuan yang cukup. Apatis tidak memberikan suara karena memang tidak ingin memberikan suara, tidak ingin mencari tahu, dan tidak ingin melibatkan diri.  Dibutuhkan bashirah untuk memutuskan; kapan harus terlibat dan kapan harus tidak terlibat. Kapan apatis dan kapan ikut pusing.  Jika memutuskan tuk apatis, maka tak perlu ada analisa dan semua tahap setelahnya. Tidak selamanya apatis itu buruk. Justru kadang, kita harus apatis pada hal-hal receh yang seharusnya memang tidak diributkan. 

Tapi jika memutuskan tuk ikut pusing, maka akan ada tahap analisa yang bersyarat netral. Jika analisa menghasilkan konklusi, maka tahap selanjutnya adalah memihak atau tidak memihak. Namun jika analisa tidak menghasilkan konklusi, maka tahap selanjutnya adalah abstain.  Walhasil, apapun itu, ikut memikirkan sesuatu atau tidak ikut memikirkannya, perlu dipikirkan baik-baik.

Diatas adalah beberapa netralitas dalam sudut pandang filsafat. Bagaimana dengan dalam sudut pandang islam?

Sering kita jumpai muslim mengambil sikap katanya “netral”, tanpa sadar sebenarnya mereka mencari muka dihadapan manusia tapi buang muka dari ridha Allah Swt. Saat agamanya dihina, nabinya di lecehkan, ayat sucinya dinistikan, saudaranya yg muslim di tindas. Semuanya  disikapi dengan netral, baik karena khawatir dibilang fanatic, SARA, atau “gak enak sama teman non muslim”.. dan alasan-alasan yang dibangun oleh perpsepsi dan ilusi, bukan IMAN dan ARGUMENTASI.

Ketahuilah, Netral dalam situasi seperti ini dalam islam disebut setan bisu. Perjelaslah posisimu, ketahuilah, diakhirat nanti tidak ada muslim netral, yang ada hanyalah golongan kanan dan golongan kiri. “Dan barangsiapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan kami masukan ia kedalam jahannam, dan  itu seburuk-buruk tempat kembali”(Q.S An-nisa:115)

Bolehlah bersikap netral ketika apa yang bukan atas hak kita. Namun jika itu sudah masuk dalam ranah akidah dan keyakinan kita, alangkah baiknya jangan pernah bersikap netral. Karena pada akhirnya akidah yang kita anut akan di pertanyakan. Contoh kasus konflik sekarang ISRAEL-PALESTINA. Saya amat tidak suka dengan orang yang mengatakan “saya netral, saya tidak mau mengambil sikap” atau “buat apa bela-bela palestina, itu bukan urusan kita”. Bahkan sebagian umat islam bersikap seolah-olah konflik diantara kedua bangsa itu adalah konflik politik, konflik agama, dan konflik- konflik lainnya. Lantas jika mereka yang konflik kita akan netral saja? Itu sama saja membiarkan hal itu terus terjadi. Paling mirisnya adalah kita masyarakat “indo” lebih suka berkoar-koar di medsos, hujat sana-sini. Sedangkan sumbangsih dan kontibusinya saja tidak ada. Lebih-lebih lagi yang tak paham sejarah kedua bangsa tersebut yang hanya bisa berkoar di dunia maya namun ciut di dunia nyata.

Pemandangan ini memang tidak bisa kita kendalikan, sudah banyak paham-paham telah menggerogoti pikiran umat islam. Terlebih-lebih lagi dalam budaya. Sikap netralitas boleh  dikondisikan tempat di mana berlakunya. Pilihlah kondisi yang mana menurut pandanganmu netralitas itu berlaku.

Timbang menimbang segala sesuatu yang akan terjadi itu adalah bukan hak kita lagi, kembalikan kepada yang Maha Mengatur segala urusan. Jika sesuatu yg kita pikirkan itu terjadi, maka itulah takdir. (Ibarat engkau bangun tidur dan berpikir mau makan apa pagi ini, terus engkau ke dapur dan makananmu habis. Cek di lemari makanan juga habis dan engkau pun kembali ke tempat tidurmu. Namun setelah beberapa saat tetanggamu datang dan mengetuk pintu rumahmu dan memberikan makanan yang sangat enak dan banyak.) Akhirnya segala sesuatu yang diluar pikiran kita itu terjadi bukan atas kehendak kita. Makanan kita yang habis  itu contoh ranah pikiran kita sedangkan makanan yang dari tetangga kita itu bukan ranah pikiran kita.

Semoga bermanfaat 😊



Tidak ada komentar:

Posting Komentar