NETRALITAS
FILOSOF
Dalam
kondisi carut-marut, sering kita dengar ajakan untuk bersikap netral.
Netralitas, atau tidak memihak, dianggap sebagai pilihan bijak. Dari sini,
mereka yang berkecimpung dalam dunia filsafat, diharuskan bersikap netral. Katanya,
itu sebagai wujud cinta kebijaksanaan yang merupakan [salah satu] etimologi
filsafat.
Filosof
yang tidak netral, dianggap tidak bijak, serta dilabeli dengan gelar filosof
murahan yang mengotori filsafat sebagai ilmu kebijaksanaan. Tentu menggelikan,
terlebih lagi jika labelisasi tersebut disematkan oleh mereka yang anti akal
dan mengharamkan filsafat. Problemnya
dimana? Problemnya berawal dari anggapan bahwa semua netral itu bijak. Sehingga, filosof yang beretimologi pecinta
kebijaksanaan, harus bersikap netral, sebagai wujud kebijaksanaan. Benarkah
netral adalah pilihan bijak? Mari kita simak.
Problem
carut-marut dapat diklasifikasikan dalam dua ranah; teoretis dan praktis. Dalam
ranah teoretis, problemnya berkaitan dengan benar dan salah. Adapun ranah
praktis, yang menjadi problem adalah tentang baik dan buruk. Dalam kedua ranah tersebut, filosof 'haram'
bersikap netral. Ia mesti memihak. Dalam ranah teoretis, filosof mesti berpihak
pada teori yang benar. Filosof menuliskan kebenaran, tak peduli walau banyak
yang meradang kepanasan, bak kesurupan.
Filosof bukan obat penenang. Harmonisasi bukan upaya menenangkan semua
pihak. Filosof adalah keberpihakan pada kebenaran. Dan itulah harmonisasi. Bahkan, seperti Sokrates, filosof adalah
lebah penyengat yang mengganggu tidur lelap akal manusia. Atau dalam
terminologi Justin Garder, filosof adalah Joker yang mengusik nalar para
kurcaci yang terbius zona nyaman.
Filosof adalah psikiater jiwa. Kepada pasien yang datang meminta saran,
seorang psikiater harus memberikan saran berdasarkan keilmuannya, BUKAN
berdasarkan keinginan pasien.
Tak
dipungkiri, sebagian pasien mengunjungi psikiater bukan untuk mendengar saran
dari psikiater, tapi untuk mendengar persetujuan psikiater atas
keinginan-keinginannya. Sehingga, bila saran yang diberikan tidak sesuai dengan
keinginan, pasien akan mencari psikiater lain yang mendukung keinginannya. Di jagat maya, pun demikian.
Tidak
semua netizen mencari kebenaran dengan menganalisa konten postingan. Sebagian
mereka hanya mencari pembenaran atas apa yang telah mereka yakini. Postingan yang tidak sesuai dengan keyakinan,
akan didislike. Pemostingnya pun dihujat. Filosof sekalipun, akan dianggap
abal-abal, bila memosting sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Sebaliknya, postingan yang sesuai dengan
keyakinan, akan disuper dan dishare. Up meng up pun dimulai, betapapun
kontennya irasional. Walhasil, dalam
ranah teoretis, filosof tidak boleh netral. Filosof mesti berpihak pada
kebenaran. Filosof menulis berdasarkan kebenaran, bukan berdasarkan selera
pembaca.
Jika
pembaca jengkel, biarkan saja. Sebab filsafat, meminjam istilah Che Guevara,
bukan pabrik manusia-manusia imitasi.
Ini ranah teoretis. Bagaimana dalam ranah praktis? Dalam bukunya, totem parasti, Syari'ati
menulis; "Akan kubutakan mataku, kutulikan telingaku, kupatahkan
kakiku, kupotong-potong jemariku, kubelah dadaku, kubunuh hatiku. Bahkan, akan
kupotong lidahku, dan kujahit mulutku. Tapi, PENAKU tidak akan pernah
kuserahkan pada YANG ASING (bigoneh)".
Yang dimaksud Syari'ati dengan kata "yang asing", tentu
bukan orang asing.
Ali
Syari'ati bukan seorang rasis yang begitu benci pada orang asing dan semua hal
yang berbau asing atau aseng. Ali Syari'ati adalah pejuang humanis
transenden. Olehnya itu, "yang
asing" mesti dimaknai dengan yang asing dari kemanusiaan, atau yang kontra
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ali Syari'ati lebih memilih menanggung beragam
derita fisik, daripada harus tunduk pada kesalahan. Artinya, Ali Syari'ati komitmen untuk tidak
akan menulis sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Apatah
lagi menjadi mesin tik para penjajah kemanusiaan, yang melanjutkan misi
pembodohan dengan tulisan. Semua ini
adalah cerita keberpihakan pada kebenaran. Seperti yang kita bahas sebelumnya,
dalam ranah teoretis, filosof mesti memihak pada kebenaran. Filosof mesti
menulis berdasarkan kebenaran, bukan berdasarkan selera netizen.
Dan
itulah wujud dari cinta pengetahuan/kebijaksanaan, bukan cinta pujian. Dalam ranah praktis, pun demikian. Filosof
mesti memihak pada kebaikan. Dunia adalah pertarungan kebenaran dan kebatilan.
Dalam diksi Syari'ati, disebut dengan pertarungan habilisme dengan qabilisme. Dan para rausyan fikr, lanjut Syari'ati,
mesti hadir dalam kontestasi tersebut dengan memihak pada habilisme.
Berkenaan dengan ini, beliau menulis;
"Yang pergi (raftand, syahid), telah menjalankan
perannya. Yang tinggal (mondand, hidup), mesti mengambil peran Zainabi,
dengan mengabarkan nilai yang diperjuangkan para syuhada. Jika tidak, berarti
mereka adalah 'Yazid'. Orang-orang yang hidup tanpa kepala". (Husain
wores-e odam)
Walhasil,
dalam pentas teoretis (kebenaran-kesalahan), dan juga pentas praktis
(kebaikan-keburukan), filosof mesti memihak pada nilai. Nilailah yang diperjuangkan
oleh mereka yang menjunjung tinggi akal.
Namun tentu, keberpihakan adalah tahap kedua. Sebelumnya, ada tahap yang
disebut dengan ANALISA. Dalam tahap analisa, NETRALITAS dibutuhkan. Yakni, dalam menganalisa realitas atau
informasi, akal tidak boleh dipengaruhi oleh rasa, semisal sentimen iman, ras
dan semacamnya. Dalam bahasa penomenologi, biarkan realitas yang menjelaskan
dirinya.
Saat
itu, ada kemungkinan kita akan berkata salah atau buruk, pada teman seiman. Dan
berkata benar atau baik, pada mereka yang tak seiman. Sebab memang, neraca
kebenaran bukan seiman, tapi korespondensi dengan realitas yang dibuktikan
dengan argumentasi rasional.
Netral,
Abstain dan Apatis
Sekilas,
ketiganya tampak semakna. Namun hakikatnya, berbeda makna. Netral berada dalam
tahapan analisa terhadap ragam informasi/peristiwa. Jika informasi/peristiwa
telah jelas salah-benar atau baik-buruknya, tetap netral tidaklah
diindahkan. Abstain yakni tidak
memberikan suara yang disebabkan oleh ketiadaan analisa, atau analisa yang
tidak berbuah hasil. Orang yang abstain adalah mereka yang tidak memihak karena
masih ragu (belum tahu mana benar-salah, dan mana baik-buruk).. Yakni, kadang kita abstain karena kita belum
melakukan analisa. Kadang pula, kita menganalisa (tentu secara netral), namun
kita tetap abstain lantaran analisa kita belum berbuah konklusi. Karena tak ada
konklusi, maka timbullah keraguan.
Karena
ragu, maka abstain adalah pilihan bijak.
Analisa yang berbuah konklusi akan melahirkan sikap memihak-tidak
memihak. Entah itu memihak salah satunya, memihak semuanya (karena semuanya
dianggap benar/baik), atau tidak memihak pada semuanya (karena semuanya
dianggap salah/buruk), ini semua adalah tahap setelah analisa, ia bukan netral
bukan pula abstain. Sederhananya, netral
adalah tahap konsepsi (tasawwur). Memihak atau tidak memihak adalah tahap
judgmentasi (tashdiq).
Adapun
abstain adalah tahap ketiadaan tashdiq.
Bagaimana dengan apatis. Apatis adalah tidak memberikan suara yang
disebabkan oleh acuh dan sikap masa bodoh. Apatis adalah keengganan untuk ikut
pusing. Ia tidak ingin mengonsepsi, terlebih lagi menashdiq. "Terserahlah
apa yang terjadi, saya sih cuek aj", ini apatis. Walaupun sama-sama tidak memberikan suara,
namun abstain dan apatis tidaklah sama. Abstain adalah kepedulian. Sementara
apatis adalah ketidakpedulian. Abstain tidak memberikan suara lantaran belum
ada pengetahuan yang cukup. Apatis tidak memberikan suara karena memang tidak
ingin memberikan suara, tidak ingin mencari tahu, dan tidak ingin melibatkan
diri. Dibutuhkan bashirah untuk
memutuskan; kapan harus terlibat dan kapan harus tidak terlibat. Kapan apatis
dan kapan ikut pusing. Jika memutuskan
tuk apatis, maka tak perlu ada analisa dan semua tahap setelahnya. Tidak
selamanya apatis itu buruk. Justru kadang, kita harus apatis pada hal-hal receh
yang seharusnya memang tidak diributkan.
Tapi
jika memutuskan tuk ikut pusing, maka akan ada tahap analisa yang bersyarat
netral. Jika analisa menghasilkan konklusi, maka tahap selanjutnya adalah memihak
atau tidak memihak. Namun jika analisa tidak menghasilkan konklusi, maka tahap
selanjutnya adalah abstain. Walhasil,
apapun itu, ikut memikirkan sesuatu atau tidak ikut memikirkannya, perlu
dipikirkan baik-baik.
Diatas
adalah beberapa netralitas dalam sudut pandang filsafat. Bagaimana dengan dalam
sudut pandang islam?
Sering
kita jumpai muslim mengambil sikap katanya “netral”, tanpa sadar sebenarnya
mereka mencari muka dihadapan manusia tapi buang muka dari ridha Allah Swt. Saat
agamanya dihina, nabinya di lecehkan, ayat sucinya dinistikan, saudaranya yg
muslim di tindas. Semuanya disikapi
dengan netral, baik karena khawatir dibilang fanatic, SARA, atau “gak enak
sama teman non muslim”.. dan alasan-alasan yang dibangun oleh perpsepsi dan
ilusi, bukan IMAN dan ARGUMENTASI.
Ketahuilah,
Netral dalam situasi seperti ini dalam islam disebut setan bisu. Perjelaslah
posisimu, ketahuilah, diakhirat nanti tidak ada muslim netral, yang ada
hanyalah golongan kanan dan golongan kiri. “Dan barangsiapa yang menentang
rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dilakukannya
itu dan akan kami masukan ia kedalam jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali”(Q.S An-nisa:115)
Bolehlah
bersikap netral ketika apa yang bukan atas hak kita. Namun jika itu sudah masuk
dalam ranah akidah dan keyakinan kita, alangkah baiknya jangan pernah bersikap
netral. Karena pada akhirnya akidah yang kita anut akan di pertanyakan. Contoh kasus
konflik sekarang ISRAEL-PALESTINA. Saya amat tidak suka dengan orang yang mengatakan
“saya netral, saya tidak mau mengambil sikap” atau “buat apa bela-bela
palestina, itu bukan urusan kita”. Bahkan sebagian umat islam bersikap seolah-olah
konflik diantara kedua bangsa itu adalah konflik politik, konflik agama, dan konflik-
konflik lainnya. Lantas jika mereka yang konflik kita akan netral saja? Itu sama
saja membiarkan hal itu terus terjadi. Paling mirisnya adalah kita masyarakat “indo”
lebih suka berkoar-koar di medsos, hujat sana-sini. Sedangkan sumbangsih dan kontibusinya
saja tidak ada. Lebih-lebih lagi yang tak paham sejarah kedua bangsa tersebut
yang hanya bisa berkoar di dunia maya namun ciut di dunia nyata.
Pemandangan
ini memang tidak bisa kita kendalikan, sudah banyak paham-paham telah
menggerogoti pikiran umat islam. Terlebih-lebih lagi dalam budaya. Sikap
netralitas boleh dikondisikan tempat di mana berlakunya. Pilihlah kondisi yang mana
menurut pandanganmu netralitas itu berlaku.
Timbang
menimbang segala sesuatu yang akan terjadi itu adalah bukan hak kita lagi, kembalikan
kepada yang Maha Mengatur segala urusan. Jika sesuatu yg kita pikirkan itu
terjadi, maka itulah takdir. (Ibarat engkau bangun tidur dan berpikir mau makan
apa pagi ini, terus engkau ke dapur dan makananmu habis. Cek di lemari makanan
juga habis dan engkau pun kembali ke tempat tidurmu. Namun setelah beberapa
saat tetanggamu datang dan mengetuk pintu rumahmu dan memberikan makanan yang
sangat enak dan banyak.) Akhirnya segala sesuatu yang diluar pikiran kita itu
terjadi bukan atas kehendak kita. Makanan kita yang habis itu contoh ranah pikiran kita sedangkan
makanan yang dari tetangga kita itu bukan ranah pikiran kita.
Semoga
bermanfaat 😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar